Label

Minggu, 14 September 2014

Under Licensed Country : Makelar Teknologi = Transfer Teknologi 2 (Final)

Ilustrasi
Makelar Teknologi
Mari kita sadari selama 69 tahun sejak merdeka, bahwa kita sudah membangun sistem ‘Makelar Teknologi’ raksasa yang mengusai hampir seluruh tatanan departemen dalam pemerintah pusat hingga daerah, serta swasta. Perpanjangan tangan pemerintah hingga swasta asing banyak sekali di Indonesia dan mereka seolah ikut membangun negeri ini. Peneliti Indonesia mendapat posisi dilemma, dimana bila mereka membuat produk baru menggunakan material dalam negeri dan berharga murah akan menjadi pesaing bagi produk asing, sehingga agen-agen dalam pemerintah dan swasta merasa tersaingi, sehingga produk-produk perundanganpun kurang mendukung untuk kegiatan penelitian produk dalam negeri yang dapat membangkitkan semangat para peneliti kita. Tarik ulur profit antara mengembangkan dan memproduksi sendiri dengan hanya mendapatkan komisi sebagai makelar teknologi asing, masih sangat kental di Indonesia. Saatini kita masih lebih menguntungkan menjadi makelar teknologi dengan mendapatkan komisi dari penjualan produk asing. Sehingga harga barang lebih mahal, karena kita harus menyisipkan komisi bagi banyak pihak, yaitu makelar, orang dalam, perantara dll, bahkan marked up harga merupakan kebiasaan tepatnya budaya bisnis Indonesia dalam pengadaan barang. Sehingga pada saat kita membeli produk asing tersebut dengan harga mahal dapat berarti kita membeli terlalu mahal ‘kebodohan’ kita. Hal lucu bila kita menanamkan modal (invest) terus untuk mempertahankan kebodohan kita selama ini, khususnya sejak kemerdekaan. Kalau kita perhatikan, komisi tersebut tidaklah terlalu besar dibandingkan devisa yang mengalir ke luar negeri. Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?    
Komisi sebagai perantara memang dapat menghidupi sebagian besar agen-agen atau makelar teknologi di Indonesia. Tetapi mengalirnya devisa karena kita membeli produk asing, kita dapat menghidupi lebih banyak orang di luar negeri. Apakah tidak terpikir selama ini untuk membangun basis-basis teknologi yang dapat mendukung produk-produk yang dibutuhkan oleh orang Indonesia ? Jumlah penduduk 250 juta orang merupakan power atau kekuatan sangat besar sekali yang dapat menggerakkan Indonesia dan dunia. Bahkan kita bisa menguasai dunia ini hingga planet lain dengan memanfaatkan material yang ada di Indonesia sebelum disedot habis ke negara lain untuk membuat produklain yang akhirnya dijual kembali ke Indonesia dengan harga lebih mahal.
Kita membangun banyak universitas dan lembaga pendidikan selama ini, kita mendidik ratusan juta anak-anak kita dengan memberikan berbagai macam ilmu. Tetapi kalau kita kupas lebih dalam, isi ilmu pengetahuan dan teknologi yang kita sampaikan kepada mereka, ternyata adalah hasil pemikiran orang asing, baik ilmu eksakta, budaya hingga agama hampir semua ‘under licensed’ negara asing. Banyak yang bangga setelah menguasainya, bahkan menganggap ini semua yang terbaik untuk kita, tapi kita telah melakukan kesalahan besar di sini dengan tidak memberikan ruang pemikiran untuk pengembangan berdasarkan cara pikir dan alam Indonesia ! Kajian ilmu sosialpun banyak kita dapatkan menggunakan metoda pendekatan pemikiran orang asing. Walau cara pemikiran orang asing semua tidaklah buruk, tetapi mengapa kita tidak memikirkan sendiri dengan alur pikiran, budaya, etika, tata krama dll yang telah kita miliki selama ini ? Teknologi dan ilmu pengetahuan yang paling cocok, adalah teknologi dan ilmu pengetahuan yang lahir dari manusia dan alam Indonesia. Mari kita lebih banyak berdiskusi dan berkreasi untuk membangun teknologi dan ilmu pengetahuan Indonesia berdasarkan pemikiran dan material yang bersumberkan SDA dan SDM Indonesia untuk melahirkan teknologi dan ilmu pengetahuan yang cocok dan nyaman dipakai oleh orang Indonesia. Niscaya suatu saat makelar teknologi kita selama ini dapat membantu kita, tidak hanya menjajakan produk kita di dalam negeri, tetapi bahkan ke luar negeri bersamaan memperkenalkan budaya, etika, tata krama dan kepercayaan asli Indonesia. Semua akan happy atau senang dapat meningkatkan pendapatan atau devisa negara, sehingga kegiatan penelitian dan pendidikanpun dapat terus meningkat !
Grom TNI AD (Ilustrasi)
Operator Teknologi
Saya pribadi, sejak kecil selalu berusaha berpikir, membuat hingga mengoperasikannya sendiri segala sesuatu. Saat kecil tinggal di dalam Pangkalan Udara TNI-AU yaitu Lanud Sulaiman – Bandung dan Lanud Adisumarmo – Solo, dimana sering membuat mainan sendiri, baik mainan ringan hingga membuat pistol dan bom sendiri. Radio, amplifier, radio amateur, gerobak, terowongan, teropong kapal selam, pesawat aeromodelling dll. Percobaan juga sering dilakukan sendiri atau bersama adik (Frans) dan teman-teman anak kolong sekitar(Tutut dll). Kecelakaan percobaan sering terjadi, termasuk jari telunjuk tangan kananpun hampir putus karena terkena ledakan mesiu pistol di telapak tangan. Banyak hal yang sering membuat repot Ibu dan Bapak saya, bahkan para tetangga, sehingga sering disebut ‘anak aneh’ di dalam komplek dan kampung sekitar.
Setelah menjadi peneliti BPPT, TNI-AD hingga Chiba University & ISAS-JAXA, saya pribadi sering keluar masuk instansi pendidikan dan penelitian dunia, termasuk Indonesia. Nilai kebanggaan peneliti di masing-masing negarapun berbeda terhadap hasil pekerjaan dan produk mereka. Bila berkunjung ke Indonesia, banyak kita temukan peneliti kita yang kebingungan mendapatkan alat ukur ini itu. Sehingga saya sering membantu mereka untuk mendapatkan dan meminjamkan alat ukur, material penelitian, bantuan konsultasi dll. Kurangnya dukungan alat bantu penelitian juga sangatmenghambat proses penelitian sendiri. Sehingga saat saya diangkat menjadi Associate Professor di Chiba University, maka pertama kali yang saya bangun adalah perlengkapan penelitian microwave, khususnya radar, pesawat tanpa awak (UAV) dan satelit sendiri. Syukur saat ini sudah lengkap, bahkan terlengkap di Jepang, sehingga saya tidak perlu pinjam ke instansi lain, sebaliknya banyak peneliti Jepang dan asingpun sering pinjam ke laboratorium saya. Ini semua impian saya saat di Indonesia, khususnya saat menjadi peneliti pada tahun 1989-1999, sayang sekali saat ini malah didukung di luar negeri.
Prof. Josh menunjukan salah satu tempat di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS) atau Laboratory miliknya
Saya kira banyak peneliti di Indonesia yang mempunyai perasaan dan cita-cita seperti saya, tetapi perhatian dari masyarakat & pemerintah kurang. Kita sadar masyarakat dan pemerintah juga mempunyai pemikiran dan prioritas tersendiri untuk membangun negeri, tetapi kita sudah 69 tahun merdeka, terlalu lama untuk pikun atau melupakan kondisi peneliti kita. Bagaikan badan kita, peneliti adalah otak dalam tubuh kita, bila otak tidak pernah diasah, maka kita akan menjadi pengemis ‘teknologi dan ilmu pengetahuan’asing terus. Bila kita akumulasikan dana yang mengalir keluar negeri untuk membayar produk-produk yang seharusnya dapat dibuat di Indonesia sebagai hasil penelitian kita, maka seharusnya kita sudah menjadi negara besar di dunia sejak puluhan tahun yll. Jadi sudah saatnya memberikan kesempatan kepada peneliti Indonesia untuk membangun pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan teknologi danilmu pengetahuan yang lahir dari pemikiran dan usaha manusia dan alam asli Indonesia.
Bila kita perhatikan nilai kebocoran uang negara lewat kejadian-kejadian korupsi selama ini, kita sebenarnya dapat mengembangkan pusat penelitian sangat besar dan disegani dunia, bila menggunakan dana yang dapat mengalir ke para koruptor. Tetapi mengapa bisa terjadi uang negara mengalir ke ‘makelarproyek’ dan ‘makelar administrasi’, pada saat para peneliti kita gigit jari kekurangan dana untuk menghasilkan sesuatu dan memberikan nilai tambah ke SDA dan SDM Indonesia ? Para peneliti bukan bermaksud mengemis untuk mendapatkan fasilitas untuk membuat sesuatu bagi negara dan dunia, tetapi ada banyak hal yang tidak dapat dilakukan tanpa campur tangan dan bantuan pemerintah dan masyarakat. Kegiatan penelitian bukanlah hal yang patut disayangkan atau buang-buang uang, karena keberhasilan dan kegagalanpun pasti mempunyai banyak nilai berharga. Bahkan banyak hasil dari kegagalan penelitian dapat melahirkan banyak penemuan baru yang bermanfaat bagi masyarakat nantinya.
Pada saat berkunjung ke instansi penelitian, pendidikan hingga pertahanan Indonesia. Saya sering temukan banyak peneliti hingga tentara yang bangga mengoperasikan produk asing, seakan mereka menemukan sesuatu yang ‘hilang’ dari negeri ini. Tapi mereka tidak sadar sebenarnya mereka hanyalah ‘operator teknologi’ asing. Sehingga pada saat saya tanyakan sistem kerja, olahan data dan control di dalamnya, data mentah dll, mereka tidak tahu. Mereka hanya tahu cara menjalankan dan outputnya saja. Bila terjadi sesuatu, mereka tidak bisa memperbaiki sendiri. Mereka berusaha lewat makelar teknologi, tetapi makelar teknologi juga tidak menhandlingnya, karena mereka hanya perantara dan mengambil komisi saja. Bila minta diperbaiki ke negara produsen, maka biayanya mahal. Sehingga kita banyak dapatkan alat-alat berteknologi tinggi yang mahal saat membelinya, tetapi saat rusak, kita tidak bisa memperbaiki sendiri, dan akhirnya banyak perangkat mahal yang tidak bisa dioperasikan di Indonesia. Bila kita beri angket, milyaran bahkan puluhan triyulan rupiah terbuang karena kita tidak bisa memperbaiki sendiri peralatan tsb dan dalam kondisi mangkrak sekarang. Demikian juga banyak bangunan dan fasilitas yang dibangun dengan bantuan asing dan sekarang tidak terawat karena tidak ada dana untuk memelihara, yang tidak terpikirkan sebelumnya. Jangan bangun kalau tidak bisa memelihara !
Bila kita perhatikan pula para lulusan akademi dan Universitas kita, hampir setiap tahun jutaan pengangguran diproduksi. Kita berlomba-lomba membangun sekolah dan universitas untuk mengejar keuntungan dari bisnis pendidikan, tetapi tanpa mempertimbangkan outputnya. Departemen atau program studipun tidak mempunyai tanggung jawab untuk mendapatkan pekerjaan bagi para lulusannya. Kita didik dan luluskan mahasiswa,kemudian kita biarkan mereka mencari sendiri pekerjaan, dan lembaga pendidikan lepas tangan terhadap mantan anak didik mereka. Mereka hanya welcome terhadap alumni yang berhasil untuk dimintai sumbangan ini itu. Pertanyaan besar mengapa kita membangun sistem pendidikan yang tidak bertanggung jawab terhadap nasib peserta didik ? Peserta didik dan keluarga yang mendukung sistem pendidikan pasti mempunyai harapan besar akan proses dan hasil pendidikan, termasuk tanggungjawab mendapatkan pekerjaan bagi lulusannya.
Selama ini kita perhatikan banyak lulusan lembaga pendidikan baik bidang ilmu alam hingga sosial yang akhirnya hanya mengoperasikan produk, sistem dan peralatan asing, sehingga mereka hanya menjadi ‘operator teknologi’ asing. Apakah ini cita-cita kita dan kita cukup bangga dan cocok menggunakan teknologi-teknologi asing ? Sehingga bila ada produk asing, kita sibuk mempromosikan dan memakai teknologi mereka ? Kita cukup puas dengan menghasilkan alumni yang menjadi operator teknologi asing, jual beli hingga management pemasaran produk asing ? Bahkan para tentara kita sendiri banyak yang bangga dengan produk persenjataan asing tanpa mengetahui isi ‘jeroan’nya. Sehingga kalang kabut bila terjadi kerusakan, bahkan peralatan kita bisa mati sebelum dioperasikan untuk perang. Semua adalah hasil dari penelitian asing yang pasti produk yang kita beli dan peroleh sudah ‘modified’ specification and low technology.
(Ilutrasi)
Kita juga terkadang temukan perangkat penelitian titipan asing di instansi penelitian kita, termasuk radar tanpa kita tahu bagaimana cara membuat dan mengoperasikannya, karena sebagian dioperasikan secara remote dari instansi asal di luar negeri. Sehingga data mentah langsung mereka akses, dan para peneliti kita cukup puas dengan hasil tampilan akhir saja, itupun sebagian dari proyek besar asing. Hal ini berbeda bila kita yang pikirkan, buat dan operasikan sendiri, sehingga kita bisa memfilter setiap data yang akan diberikan ke pihak asing. Informasi cuaca, misalnya, kita sendiri yang harus buat perangkatnya, operasikan dan olah data darimentah hingga tampilannya yang cocok untuk masyarakat dan instansi negara. Segala informasi di dalam negeri ini, harus kita kumpulkan dan olah menggunakan perangkat yang kita buat dan operasikan sendiri, setinggi apapun teknologinya,harus kita buat. Kita harus membangun teknologi yang tertinggi di Indonesia yang dapat menjadi branded product di dunia.
Lembaga pendidikan kita selama ini seharusnya juga berfungsi sebagai lembaga penelitian yang dapat mendukung instansi produksi atau industri, baik negeri maupun swasta yang dapat menambah lapangan pekerjaan baru yang terus berkesinambungan. Kita harus membangun lingkaran sirkulasi positif antara lembaga pendidikan dan industry, dimana lingkaran-lingkaran ini harus kita bangun dalam satu paket-paket tersendiri. Sehingga syarat pembangunan lembaga pendidikan baru harus diikuti dengan jaringan kerjasama dengan perusahaan atau instansi usaha yang memungkinkan untuk menampung para lulusannya nanti. Lembaga pendidikan demikian niscaya akan menjadi favorit bagi calon peserta didik, dan industripun akan tenang dan merasa terjamin atas generasi pegawai barunya yang dapat mendukung kegiatan industrinya. Sehingga kita perlu ubah dari sistem pendidikan yang memproduksi ‘operator teknologi’ menjadi produsen ‘technology maker’ !
Silakan disharing kepada anak, saudara dan kolega Anda ! Terimakasih untuk ikut membangun negeri kita, Indonesia !
Mari kita bangun kepercayaan atas orang dan negeri sendiri, rumah kita bersama, Indonesia !
Salam hangat selalu,
Josaphat TetukoSri Sumantyo

Under Licensed Country : Makelar Teknologi = Transfer Teknologi

Apakah kita cukup bangga sebagai pemakai, perantara dan makelar teknologi atau produk asing ?


Visited Prof Guey Shin Chang, Director of Taiwan National Space Organization (NSPO) to collaborate to develop SAR onboard Solar UAV and GPS-RO microsatellite, 3 September 2014, Taiwan.
Under Licensed Country dan Karoseri Teknologi Asing
Selama menjadi peneliti BPPT dan TNI-AD di Indonesia pada tahun 1989-1999 dan peneliti di Chiba University & ISAS JAXA 2002-sekarang, setiap tahun lebih dari enam kali saya berkunjung ke instansi penelitian dan pendidikan Indonesia, selain untuk mengunjungi mantan mahasiswa saya yang telah banyak kembali ke instansi pemerintah dan swasta di Indonesia. Biasanya juga untuk melakukan ground survey penelitian saya mengenai perubahan lingkungan Indonesia dan pengamatan menggunakan satelit dan peta-peta kuno saya, serta mengumpulkan naskah-naskah lama Indonesia. Setiap terbang dalam negeri Indonesia, saya selalu atur jauh hari untuk mendapatkan posisi kursi dalam pesawat agar mempermudahkan saya melakukan survey perubahaan lingkungan dari dalam pesawat di setiap jalur penerbangan yang sering saya lewati,misalnya jalur pantura Jakarta – Solo, Yogyakarta, Surabaya, Bali, Makassar dll.
Syukur hingga beberapa tahun yang lalu saya selalu menggunakan dana sendiri untuk kunjungan ke Indonesia, walau akhir-akhir ini mulai banyak instansi yang mau membantu untuk akomodasi agar mempermudah saya berkunjung ke Indonesia, terimakasih atas bantuannya ! Saya juga sering mengajak peneliti dan professor Jepang, Amerika, Taiwan, Korea, Malaysia dll yang saya danai mereka agar bisa ikut berkontribusi untuk memajukan pendidikan dan penelitian Indonesia. Walau sering saya menemukan pengalaman lucu, dimana rekan-rekan Indonesia mengira saya yang dibayari oleh orang asing, sehingga mereka terpusat menjamu orang asing dan melupakan saya, maklum juga itu adalah salah satu etika buruk orang Indonesia, bahkan orang terdidikpun selama ini. Saya perhatikan banyak rekan Indonesia secara psikologi keilmuan merasa di bawah orang asing, sehingga memberikan penghormatan yang berlebihan dan sebaliknya tidak dapat menghargai kemampuan sendiri dan orang Indonesia lainnya.
Pada saat berada di instansi penelitian, pertahanan dan keamanan dll saya perhatikan adanya kebanggaan akan produk asing. Sehingga pada saat saya tanyakan apa produk atau usaha Anda untuk meningkatkan mutu, efisiensi, keakuratan pekerjaan Anda ? Semua hampir tidak bisa menjawab. Bila kita tidak bisa menjawab, lalu selama ini apa yang bisa kita kontribusikan kepada masyarakat dari hasil pekerjaan kita sehari-hari ? Sebenarnya kita, orang Indonesia berangkat setiap pagi dan pulang sore untuk bekerja bukan hanya untuk meningkatkan pendapatan yang bisa mencukupi kehidupan sehari-hari diri sendiri dan keluarga, tetapi kita bekerja keras untuk masyarakat, negara dan dunia. Pada saat kita bekerja agar kita dapat memberikan yang terbaik untuk dunia, maka kita perlu perlengkapan yang baik, bermutu, berefisien tinggi, harga murah, akurat hingga ‘cantik’ atau cocok dan mudah dipakai sehari-hari, dari hanya pensil, ballpoint hingga pesawat tempur.
Alat-alat tersebut adalah barang-barang sehari-hari yang ada di sekitar kita hingga perlengkapan tercanggih untuk pertahanan dan keamanan negara. Kita masih sering temukan perlengkapan kecil hingga besar yang berlabelkan made in (buatan) negara asing yang mutunya tidaklah sebagus yang kita harapkan. Seakan negara kita ini adalah laboratorium atau kelinci percobaan bagi negara-negara asing untuk menguji produk-produk mereka. Negara asing sangat beruntung mendapat income besar dari hasil penjualan produk teknologi rendah (low technology) mereka, berupa barang-barang bermutu rendah dan terkadang membahayakan kita. Hasil keuntungan tersebut menjadi pemasukan mereka untuk mengembangkan teknologi yang lebih bagus, dan kita menjadi pasar mereka lagi untuk mendapatkan produk yang lebih mahal. Hasil pemasukan mereka dari penjualan produk di Indonesia dapat menghidupi peneliti-peneliti asing, pada saat peneliti-peneliti kita kekurangan dana dan pendapatan, sehingga sudah menjadi rahasia umum mereka banyak mempunyai pekerjaan kedua ketiga dsb berupa mengajar di beberapa universitas, wiraswasta, jual-beli saham dll. Bila kita beri angket kepada seluruh peneliti kita akan pekerjaan kedua, ketiga dst (side business), bisa kita petakan kondisi sebenarnya kwalitas peneliti kita dan proyeksikan terhadap hasil penelitian selama ini, berikut kontribusinya pada kemajuan negara dan dunia. Walau tidak disalahkan seorang peneliti juga mengajar di universitas lain untuk mendapatkan tambahan pendapatan, tetapi bila seorang peneliti juga merangkap menjadi dosen dibeberapa Universitas, sebenarnya dia telah mengambil lapangan pekerjaan untuk orang lain pula, sehingga lapangan pekerjaan berkurang. Bahkan banyak peneliti lembaga penelitian yang mempunyai jabatan sebagai ketua jurusan atau dekan dll, sehingga pekerjaan yang seharusnya sebagai peneliti tertinggalkan untuk pekerjaan ‘administrasi’. Akhirnya yang terkorbankan adalah masyarakat dan negara, karena seharusnya mereka dipekerjakan untuk meneliti, tetapi merangkap pekerjaan yang menjauhkan dari kegiatan penelitian sendiri.
Profesi peneliti memerlukan konsentrasi tersendiri yang berlanjut untuk dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi sang peneliti sendiri, instansi, masyarakat dan dunia. Profesi peneliti di negara mana saja hampir saya dalam artian berkorban waktu, dana, perasaan dll untuk menghasilkan suatu produk dan pengetahuan yang cocok, bermanfaat, efisien, murah dll sesuai manusia dan lingkungan negaranya, bahkan untuk dunia. Masih banyaknya masyarakat yang silau dan terkagum-kagum akan produk hasil teknologi dan ilmu pengetahuan negara asing, dapat diartikan sebagai masih rendahnya hasil para peneliti dan dukungan serta kepercayaan pemerintah dan masyarakat untuk membuat produk yang cocok untuk kita sendiri.
(Ilustrasi)
Seringnya kunjungan ke Indonesia dalam puluhan tahun terakhir, saya sering perhatikan di bungkusan produk-produk di pasar tradisional, super market, toko swalayan, warung dll yang tertuliskan ‘under license …’. Hampir separuh lebih produk yang dikonsumsi masyarakat kita tertera kalimat ini. Sejak merdeka, sudah 69 tahun masihkan kita harus tergantung pada negara lain untuk produk yang dikonsumsi oleh masyarakat kita, terutama obat-obatan, makanan kaleng, bungkus kering, sepedamotor, mobil, bahkan pesawat terbang. Walau ada perusahaan mobil, pesawat, kapal dll di Indonesia, kalau kita cermati baik-baik, ternyata mesin, sistem elektronik dll di dalamnya juga under license negara lain, walau saat launching mereka menggembor-gemborkan sebagai produk anak bangsa. Sepertinya ada kesalahan persepsi terhadap ‘produk anak bangsa’, karena kita sering melihat dari tampilan produk saja, tanpa teliti melihat jeroan produk tsb. Kita menginginkan negara mandiri teknologi dan ilmu pengetahuan, bukan negara pembungkus teknologi asing dengan hanya merakit dan membungkus dengan bodinya saja, kemudian mempromosikan sebagai ‘produk anak bangsa’. Kita bukan ‘karoseri teknologi asing’. Jangan salah artikan capaian teknologi bisa dicapai hanya dengan merakit dan membangun bodi mobil, pesawat, kapal dll, dimana didalamnya ternyata komponen produk asing.

Salam hangat selalu,
Josaphat TetukoSri Sumantyo

Karier di Chiba University hingga Full Professor / Guru Besar (2005-2013) Jilid 3 (FINAL)

Pengangkatan Guru Besar atau Full Professor di Chiba University
Meneliti, membimbing mahasiswa dan mengembangkan jaringan keilmuan di seluruh dunia adalah hobby saya selama ini. Saya melakukan hal ini dengan senang hati, sehingga sangat exciting melakukan hal ini, bahkan tidur hanya beberapa jam saja setiap hari, karena sahabat saya tersebar di seluruh dunia, sehingga perlu waktu lebih untuk berkomunikasi dengan mereka. Berkat dukungan mereka lewat organisasi IEEE, IEICE, SICE, RSSJ, JSPRS dll, maka penelitian selama ini dapat terealisasi dan terpenting adalah terealisasinya cita-cita saya selama ini. Saya pribadi ingin membuat mereka bangga pula atas hasil pencapaian selama bersahabat dengan mereka. Hingga saat ini telah terkumpul dana penelitian sebesar 5,6 juta USD atau sekitar 60M rupiah untuk mengoperasikan kegiatan penelitian di Josaphat Laboratorium yang dikelola langsung oleh Rektorat Chiba University sejak 2005. Pencapaian ini membawa saya sebagai penerima dana terbesar di Chiba University hingga saat ini. Hasil dari penelitian selama ini peer-reviewed paper lebih dari 60 papers. Demikian juga paper presentasi di symposium international dan dalam negeri mencapai lebih dari 600 papers sejak tahun 1994. Hasil penelitian selama ini juga dirangkum dalam berbagai buku yang terbit di Springer dll. Antenna, radar dll juga dilindungi oleh patent-patent international (118 negara) dan dalam negeri yang mencakup ratusan items. Demikian juga berbagai penghargaan telah diberikan untuk hasil penelitian selama ini. Hampir setiap temuan saya, pasti mendapatkan award atau penghargaan dalam (Jepang) dan luar negeri.
Pada pertengahan tahun 2012, saya mendapatkan kabar lowongan posisi Guru Besar atau Full Professor di CEReS Chiba University. Saat itu saya berumur 41 tahun. Posisi guru besar di Jepang biasanya dialokasikan untuk staff yang berumur lebih dari 50 tahun. Lowongan pekerjaan di instansi pemerintahan biasanya terbuka untuk umum, sehingga kandidat harus bersaing dengan pendaftar dari seluruh Jepang, bahkan dari luar negeri. Dari segi umur saya sangat ragu untuk mengapply posisi ini, karena ternyata pesaing berasal dari banyak instansi, expert di bidang remote sensing dan berumur cukup atau lebih dari 50 tahun. Berkat dukungan dari kolega di CEReS, akhirnya saya coba untuk apply juga saat itu. Saat mendaftar, kita perlu mengirimkan ringkasan dari seluruh hasil riset dan kegiatan kita selama ini. Walau hanya ringkasan saja, misalnya setiap paper hanya kurang dari 20 kata, seluruh aplikasi saya diprint bolak-balik mempunyai ketebalan 5 cm. Dari sekian banyak kandidat yang masuk, semua hanya memperebutkan satu posisi saja, yaitu Guru Besar atau Full Professor di National University, posisi atau jabatan yang sulit dan mempunyai ketinggian tembok birokrasi tersendiri bagi orang asing. Saat itu harapan hanya 50% saja untuk diterima, sehingga tidak terlalu ngebet untuk apply posisi ini. Setelah beberapa minggu proses seleksi dokumen, kemudian diumumkan tiga kandidat yang lolos untuk Ujian Interview. Saya menerima pengumuman bahwa lolos untuk tahap berikutnya, yaitu ujian interview yang akan diadakan minggu berikutnya.
Selama hidup ini, berkali-kali saya mengikuti hearing dan interview, hampir semua lolos bila saya menghadiri interview atau hearing sendiri. Namun interview kali ini agak berbeda, karena ini interview untuk posisi jabatan terakhir dan tertinggi di dunia akademik, serta di negara asing, bukan negara dimana saya lahir. Biasanya saya menghubungi Ayah danIbu di Kartasura sebelum melakukan interview atau ujian apa saja. Kali inipun sama, Ayah dan Ibu seperti biasa berbincang menggunakan Bahasa Jawa kromo inggil, mereka selalu percaya kalau saya pasti lolos, karena dari sejak kecil hampir tidak pernah gagal semua usaha yang saya lakukan dan inginkan. Mungkin Ayah dan Ibu saya yang paling tahu tentang diri saya. Satu jam sebelum interview, saya hubungi Ayah kembali dan beliau hanya pesan untuk tenang seperti biasa dan banyak tersenyum seperti sehari-hari saya saja.
Kebetulan saya mendapat nomor urut 2 untuk interview kali ini. Pada saat dipanggil, saya sudah siap untuk menerangkan hasil perolehan hidup saya untuk riset, kegiatan akademik dan pencapaian lainnya, berikut jaringan saya di seluruh dunia. Kemudian dilanjut konsep penelitian saya bila diangkat menjadi Guru Besar. Saat itu saya terangkan cita-cita saya sejak kecil hanya ingin merealisasikan pesawat (tanpa awak), radar berikut satelit saja dan  penerapannya untuk dunia, termasuk Jepang dan tanah air saya, Indonesia. Saat itu tim penguji terdiri dari tiga guru besar CEReS, tiga guru besar dari fakultas lain, staff administrasi rektorat, tiga kepala organisasi remote sensing Jepang (IEEE, RSSJ, JSPRS) dan perwakilan beberapa instansi remote sensing di Jepang (JAXA dll). Setelah masuk ke ruang interview, saya seperti biasa dan tidak grogi, karena selama ini sering menghadapi banyak orang dengan jumlah ratusanpun. Saya pribadi percaya sebagian besar dari mereka tahu akan pencapaian saya selama ini baik di Jepang maupun di luar negeri, karena hasil penelitian saya sering keluar di koran dan majalah Jepang pula. Di depan para tim penguji, mereka sambil mengikuti presentasi saya, juga membuka dokumen-dokumen yang saya sampaikan sebelumnya, terlihat cukup tebal. Setelah selesai presentasi, masuk sesi tanya jawab, sayapun berusaha menjawab semua pertanyaan tentang riset selama ini, penelitian dan kegiatan setelah menjadi Guru Besar, kontribusi bagi CEReS, Chiba University, Jepang dan dunia. Serta bagaimana menjaga balancing riset, administrasi dan kehidupan sehari-hari. Bagi saya tidak masalah, karena selama ini saya hidup bersama anak semata wayang saya, Pandhito, semua saya lakukan setiap hari dari pagi hingga malam sampai Pandhito tidur. Hampir tidak ada Professor pria Jepang yang bisa atau mau memelihara anaknya sendiri, tapi saya bisa. Saya tidak ingin kehilangan waktu bersama anak, dimana waktu bersama anak sangat pendek dalam hidup ini, sehingga saya berusaha untuk mengasuh anak saya tanpa pembantu. Sehingga komunikasi dengan Pandhito bisa lebih banyak di sela kegiatan Pandhito sendiri dan saya.
Welcome to 16 Pre Double Degree Program smart students from Chiba University Sister Universities (UI, ITB, Unpad, UGM, Unhas and Unud) under scholarships of Ministry of Education and Technology Japan and Beasiswa Unggulan BKLN – Ministry of Education (DIKNAS)
Beberapa jam setelah interview, saya mendapatkan phone dari Director untuk menghadap. Dalam hati sedikit deg-degan, tapi harus diterima hasil seleksi Guru Besar ini. Saat menghadap Director, beliau langsung mengutarakan kalau saya terpilih untuk diangkat menjadi Guru Besar atau Full Professor, jabatan teratas dan terhormat di National University Jepang pada usia 41 tahun. Director memberikan banyak pesan mengenai posisi ini, karena usia saya 41 tahun saat itu, dimana termasuk termuda di Chiba University, maka harus menjaga perasaan staff lain. Tapi Director percaya kepada saya, karena melihat perilaku saya selama ini yang dekat dengan staff lain dan para mahasiswa, dimana saya sering lupa kalau sudah mempunyai jabatan tertentu. Saya tersadar mempunyai jabatan, bila saat rapat senat dan kegiatan official University saja, dimana jabatan tertentu saja yang boleh hadir. Btw semua sudah saya dapatkan secara administrasi, tetapi tujuan saya hanya merealisasikan cita-cita saya sejak kecil dan membuat banyak sahabat saja di seluruh dunia. Agar saat saya meninggal nanti tidak ada yang tersisa dari harapan saya selama ini. Di nisan saya hanya minta ditulis ‘Hidup demi kehormatan negara,keluarga dan sahabat’ atau  ‘Live for pride of country, family, and friends’ dan kalau ada sahabat yang baik, saya minta tolong untuk meluncurkan sebagian abu diri saya ke ruang angkasa.
Sejak diangkat sebagai Guru Besar pada tanggal 1 April 2013, masih ada waktu tersisa 24 tahun hingga saya pensiun dari Chiba University. Saya ingin meluncurkan setidaknya 6 microsatellite untuk misi observasi bumi dan permukaan planet lain menggunakan radar-radar yang saya ciptakan selama ini. Misi-misi ini saya harapkan dapat memperkaya pengetahuan anak dan cucu kita akan alam semesta, tidak hanya dari kitab dan buku diktat saja, kita harus lihat sendiri dan menikmati kebesaran alam ini menggunakan pencapaian pengetahuan kita selama ini. Saya tidak terlalu suka berdoa, sebagai penggantinya adalah melakukan segala sesuatu secara riil dan mengkontribusikan diri untuk manusia dan alam di dunia ini. Kita terlahir dan kembali ke alam, maka gunakan baik-baik selama hidup ini untuk mengetahui alam ini, walau mungkin hanya sekejab dan hanya mendapatkan sebagian pengetahuaan akan alam ini.
Pengembangan Stratosphere Drone (Seri JS)
Penelitian yang saya lakukan selama ini terpusat pada monitoring bencana alam, khususnya gempa bumi, tsunami dan aktifitas gunung. Dimana tema ini merupakan masalah bersama untuk negara-negara di ring-of-fire di sekitar Asia Pasifik, termasuk Indonesia dan Jepang. Dorongan ini mengantar saya untuk penelitian permukaan bumi secara akurat, yaitu pengamatan gerakan permukaan bumi dengan akurasi beberapa milimeter atau sentimeter dari 700 km orbit satelit. Teknologi saat ini yang terbaik adalah penggunaan synthetic aperture radar (SAR). Ada beberapa platform yang dapat digunakan, misalnya pesawat terbang, drone dan satellite. Maka saya kembangkan hampir semua perangkat ini di Josaphat Laboratory (JMRSL) dalam CEReS, Chiba University.
Bila di Jepang kita ingin mengoperasikan drone, maka kita tidak bisa terbang lebih dari 250m dari permukaan bumi, karena pada ketinggian 250m hingga 12,000m digunakan sebagai kolom penerbangan bagi pesawat sipil dan militer. Kemudian yang terpikir bagi saya adalah pengembangan drone dengan radar pada ketinggian di atas 12,000 m atau stratosphere drone. Karena pada ketinggian ini kita bebas dari penerbangan sipil dan militer. Hanya bila kita ingin menerbangan drone pada ketinggian di atas 12,000 hingga 20,000 m, maka kita perlu mengembangkan perangkat pesawat berikut flight control system, sensor, navigasi dll harus berspesifikasikan ruang angkasa. Spesifikasi ini harus tahan terhadap radiasi ruang angkasa, vacuum, getaran saat naik maupunturun, suhu luar dari -50 hingga 100 derajat celcius dll. Specifikasi ini melebihi spesifikasi militer. Karena laboratorium kami terbiasa mengembangkan perangkat ruang angkasa dan drone, maka cukup familiar untuk pengembangan komponen stratosphere UAV atau drone ini.
Prof. Josaphat bersama Taiwanese National Space Organization (NSPO) usai membicarakan kerjasama stratosphere Drone dan microsatellite di Taiwan pada 4 September 2014
Sejak tahun 2012 selalu diundang oleh sahabat saya, Prof Liu dari National Central University (NCU) Taiwan untuk mengunjungi National Space Organization (NSPO) karena keinginan Taiwan untuk mengadopsi teknologi yang saya kembangkan, yaitu Stratosphere Drone, SAR sensor dan microsatellite. Akhirnya September 2014 ini terlaksana kunjungan untuk bertemu President dari National Applied Research Laboratories (NARL) Prof Lo dan pejabat lain di Taiwan untuk merealisasikan stratosphere drone bersensor SAR dan microsatellite Tanah Air – I untuk keperluaan Taiwan pula. Saya pribadi tidak menyangkaternyata teknologi saya sangat dibutuhkan oleh sahabat-sahabat di Asia.Demikian juga bulan April 2014 yll sahabat-sahabat di Ajou University dan Korean Aerospace Research Institute (KARI) juga mengundang untuk bekerjasama merealisasikan SAR onboar microsatellite Korea, dan hal ini sudah masuk dalam roadmap pengembangan teknologi Korea. Tahun 2015 nanti SAR onboard UAV saya juga akan terbang di Semenanjung Malaysia. Mudah-mudahan teknologi yang terlahir dari kepala ini dapat bermanfaat bagi banyak negara untuk keperluan damai, khususnya untuk pengamatan bencana, sehingga dapat dikurangi korban akibat bencana alam.
Hidup demi kehormatan negara, keluarga dan sahabat
Live for pride of country, family, and friends
7 September 2014
Josaphat TetukoSri Sumantyo

Karier di Chiba University hingga Full Professor / Guru Besar (2005-2013) Jilid 2

Radar, drone dan microsatellite ini adalah kristal dari usaha dan hidup saya selama ini untuk dunia, serta Indonesia, serta ingin tunjukkan bahwa orang Indonesia tidaklah serendah apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri.


Pengembangan Drone atau UAV Seri JX
Suatu saat saya memikirkan cara untuk menguji radar saya,yaitu memasangnya di badan pesawat. Kemudian saya coba diskusi dengan beberapa perusahaan pesawat dan mendapatkan jawaban yang hampir sama, yaitu memasang radar perlu mengubah atau memodifikasi badan pesawat. Modifikasi ini perlu dana sebesar 200 juta yen atau sekitar 20M rupiah. Bagi sebuah laboratorium yang baru memulai kariernya, nilai ini sangatlah besar sekali, kemudian saya balik pikiran daripada memberi dana sebesar itu ke orang lain, lebih baik membuat pesawat atau pesawat tanpa awak (drone/UAV) sendiri. Akhirnya saya pilih membuat pesawat tanpa awak sendiri. Hanya permasalahannya adalah frekuensi yang dipakai oleh synthetic aperture radar (SAR) yang saya buat saat itu adalah L band yaitu 1.27 GHz dengan panjang gelombang sekitar 24 cm. Sehingga memerlukan antenna yang cukup panjang, biasanya 10 lambda atau 2.4 m. Agar antenna tersebut dapat dimuat oleh drone, maka bersama anak saya yang masih berumur 4 tahun memikirkan bentuk yang memungkinkan. Agar SAR sensor tidak terlihat dari luar saat mengoperasikan, maka drone dipilih bentuk dimana antenna dipasang didalamnya. Agar gelombang electromagnet yang dipancarkan oleh radar dapat tembus dan terhantar dengan baik, maka bahan untuk badan pesawatpun dipilih campuran kayu balsa dan fiber plastic sehingga diperoleh dielectric constact sekitar 1.3 yang mendekati udara. Akhirnya saya pilih badan drone atau UAV sekitar 5-6 meter dan rentang saya 6 meter untuk menyangga seluruh beban sensor yang akan dibawa. UAV ini diberi nama Josaphat Laboratory Experimental Unmanned Aerial Vehicle (JX), dimana UAV pertama diberi nama JX-1.
Saat itu saya ingin mencoba untuk membantu perusahaan Indonesia untuk ikut mengembangkan UAV saya. Pada saat mengajar ke beberapa Universitas dan instansi penelitian di Indonesia, saya tawarkan pula ke beberapa perusahaan Indonesia. Maksud saya untuk menggerakkan perusahaan kecil dan menengah di Indonesia, khususnya di bidang UAV. Ada beberapa perusahaan yang menyanggupi, walau mereka belum punya pengalaman membuat UAV dengan rentang sayap 6m, kemudian saya pilih satu diantara mereka. Kemudian perlu dipikirkan perusahaan perantara atau pengimport di Jepang, kalau masalah ini tidak terlalu sulit, karena saya sering memasukkan perangkat sensitive untuk radar, UAV dan satelit, cukup berpengalaman. Saat itu saya minta pembuat UAV di Indonesia untuk dapat dilakukan taxing test dan uji terbang pula, sebelum dibawa ke Jepang. Walau akhirnya taxing test dan uji terbang tidak dilakukan oleh perusahaan Indonesia karena mereka belum berpengalaman dalam hal ini. Jujur saat itu saya sangat kecewa, karena bila di Jepang, apa yang kita katakan ke client, maka itu yang harus dilakukan.
anak saya saat memikirkan bentuk yang cocok untuk misi remote sensing
Pembuatan UAVpun terlambat beberapa bulan dan melampaui batas tahun fiscal yang membuat kami kelabakan. Setelah beberapa cara, akhirnya dapat terlewati proses administrasi. Akhirnya UAV dari Indonesia tiba pada tanggal 4 Februari 2011. Setelah kami bongkar bersama rekan-rekan dari Lembaga Antariksa Jepang (JAXA), ternyata produk Indonesia banyak ditemukan jaringan kabel sistem kontrol penerbangan yang tidak tertata rapi, dimana ada konektor yang female-female dll. Jaringan servo motorpun kurang memperhatikan segi keamanan, khususnya kalau diterbangkan di wilayah Jepang. Sistem control ban depan tidak ada dll. Akhirnya jaringan sistem control penerbangan dari Indonesia kami buang semua dan diganti berikut merapikan seluruh sistem didalamnya. Kita tambahkan fungsi flap di sayap utama, berikut memperkuat dan menambah jumlah servo motor di semua sayap, baik sayap utama maupun ekor.
Setelah kami perbaiki dan diskusikan dengan rekan-rekan JAXA dan pilotnya, serta kita simpulkan aman untuk uji mesin, taxing dan terbang,maka kami coba untuk test awal di Lapangan terbang untuk pesawat kecil, Otone Airfield di propinsi Ibaraki pada tanggal 1 November 2011. Bersama mahasiswa dan staff kami yang berjumlah 22 orang, kami bawa UAV ke Otone Airport. Setelah kita lakukan perakitan seluruh pesawat kami, siaplah uji mesin UAV kami. Saat itu kami tersadarkan bahwa baling-baling yang dikirim dari Indonesia bersama UAV kami adalah puller propeller, atau propeller untuk menarik badan pesawat. Sedangkan UAV kami perlu pusher propeller, karena mesin ada di belakang badan UAV. Langsung saya hubungi perusahaan Indonesia untuk menerangkan kondisi ini dan minta diusahakan secepatnya untuk mendapatkan propeller yang tepat. Suatu hal yang sangat sembrono bila terjadi hal demikian di Jepang dan biasanya berpengaruh pada kepercayaan dalam hubungan bisnis di Jepang. Setelah beberapa minggu, akhirnya pusher propeller tiba dan kami siapkan uji mesin dan taxing lagi di Fujikawa Airfield.
Uji terbang kedua pada tanggal 7 Juni 2012 diadakan dilapangan terbang Fujikawa Airfield, propinsi Shizuoka, 3 jam naik mobil dari Chiba. Uji terbang kali ini harus berhasil dan mengejar ketertinggalan waktu 6 bulan yang telah terbuang karena salah propeller. Manual menerbangkan pesawat tanpa awak dengan rentang saya 6 m tidak bisa kita temukan di dalam buku atau referensi lainnya, maka perlu kita buat manualnya tersendiri. Lewat beberapa diskusi,maka ditetapkan beberapa uji dasar, yaitu uji navigasi, uji mesin, uji control ban depan dan rem atau taxing, uji lari hingga kecepatan lebih dari 120 km/jam, uji take off, uji terbang rendah, uji terbang, uji/simulasi landing atau pendaratan dengan terbang rendah, uji pendaratan, uji rem dan taxing setelah pendaratan. Seluruh ujian kami rekam informasi lokasi, ketinggian dll menggunakan IMU, gyro dan GPS kami. Pada tanggal 7 Juni 2012, semua ujian sesuai manual yang kami buat dijalankan dengan baik. Berbagai factor cuaca termasuk kecepatan angin dll, juga kami pertimbangkan saat itu, dan uji terbang pertama JX-1 berhasil dengan baik.
Berdasarkan pengalaman dan maksud baik untuk Indonesia selama ini, tetapi jauh dari harapan, baik kepercayaan, waktu, pelayanan purna pengadaan, kelengkapan, keamanan dll, maka pengembangan JX-2 dan berikutnya dilakukan bersama JAXA dan beberapa perusahaan di Jepang yang lebih mengedepankan kepercayaan, pelayanan, keamanan dll.
Microsatellites Seri GAIA “TANAH AIR”
Sejak tahun 2007 saya membuat Komisi Pengembangan CP-SAR sensor untuk microsatellite. Hampir ratusan usulan saya buat ke pemerintah Jepang dan pemerintah lain, akhirnya pada tahun 2011 setelah mendapat dukungandari Chiba University, wartawan, pengusaha, organisasi dan senator di Parliament Jepang, maka pengembangan CP-SAR onboard Microsatellite didanai 360 juta Yen atau sekitar 36M rupiah oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang. Saya sangat berterimakasih sekali kepada sahabat-sahabat Jepang yang selama ini membantu untuk merealisasikan cita-cita saya sejak kecil, yaitu pengembangan radar berikut satelit yang saya beri nama GAIA atau “Tanah Air”. Saya beri nama“Tanah Air” karena selama ini hanya cemoohan pesimis dari banyak orang Indonesia, bahkan rekan-rekan LPND hingga saya meninggalkan Indonesia pada tahun 1998. Sejak saat itu dalam diri saya hanya terpikir untuk membuat sesuatu yang tidak bisa dibuat oleh pemerintah dan orang Indonesia, dan saya ingin kontribusikan diri untuk dunia. Radar, drone dan microsatellite ini adalah kristal dari usaha dan hidup saya selama ini untuk dunia, serta Indonesia, serta ingin tunjukkan bahwa orang Indonesia tidaklah serendah apa yang dipikirkan oleh kebanyakan orang Indonesia sendiri. Mudah-mudahan sesuai rencana atas bantuan pemerintah Jepang, tahun 2016-2017 nanti Tanah Air – I akan meluncur bersama satelit GCOM-C milik JAXA menggunakan roket H-II.
Bus sistem microsatellite yang digunakan oleh Tanah Air – I merupakan bus sistem dasar yang akan digunakan pula untuk microsatellite lainnya yang dikembangkan oleh Josaphat Laboratorium. Selama berkarya di Jepang hingga pensiun pada tahun 2035 nanti, mudah-mudahan 6 unit microsatellite akan saya luncurkan untuk berbagai misi ruang angkasa. Teknologi ruang angkasa ini juga akan diaplikasi untuk pengembangan Stratosphere Drone yang dikembangkan untuk Indonesia, Taiwan dan Jepang saat ini.
Pengembangan CP-SAR untuk microsatellite pertama adalah bersama LAPAN untuk microsatellite bernama LAPAN-A5. Pengembangan ini mudah-mudahan dapat menjadi kontribusi saya untuk Indonesia. Bersamaan pengembangan microsatellite ini, saat ini saya bantu pengembangan pengembangan SAR onboard microsatellite untuk ISAS JAXA, Ajou University & KARI-Korea, NSPO-NARLTaiwan, Fudan University-China dan MMU Malaysia. Mudah-mudahan sensor yang dikembangkan ini dapat menyatukan negara-negara di dunia, khususnya wilayah Asia.
Road Map Satelit Lapan
Untuk mendukung program microsatellite yang berpayload 50 hingga 100 kg, maka dibangun ground station (seri Josaphat Laboratory ground station – JG). Ground station pertama dibangun di fasilitas Josaphat Laboratorydalam CEReS Chiba University yang didukung oleh Kementerian Pendidikan dan Teknologi Jepang (Monbukagakusho MEXT) sebesar 70 juta yen atau 7M rupiah. Dukungan ini memperkuat kemampuan kami di bidang eksplorasi ruang angkasa nantinya. JG-1 ini rencana akan selesai December 2014 tepat hari Natal, sehingga dapat menjadi bingkisan tahun baru kami. Kerjasama dengan NSPO Taiwan menghasilkan jaringan ground station di dunia, sehingga kami dapat mengakses satelit kami near realtime, kurang dari 30 menit, sehingga data satelit kami dapat digunakan untuk memprediksi gempa dan cuaca lebih akurat nantinya.

Prof. Josaphat TetukoSri Sumantyo

Karier di Chiba University hingga Full Professor / Guru Besar (2005-2013) Jilid 1


Josaphat Laboratory – Synthetic Aperture Radar (SAR) ground test measurement system with 0.1 mm precision
Awal Pembangunan Josaphat Microwave Remote Sensing Laboratory (JMRSL)
Sejak diangkat menjadi Associate Professor di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University pada tanggal 1 April 2005, yang terpikir dalam diri saya adalah bagaimana membangun pusat penelitian terlengkap, setidaknya di Jepang untuk bidang microwave remote sensing. CEReS adalah pusat penelitian di bidang penginderaan jarak jauh atau remote sensing di bawah langsung Kementerian Pendidikan dan Teknologi (MEXT) atau Monbukagakusho Jepang yang berada dalam Chiba University. Sehingga saat mendapat surat pengangkatan sebagai Associate Professor langsung mendapatkan nomor pegawai negeri Jepang di bawah Monbukagakusho (MEXT). Saat itu yang terlintas di kepala saya, tahun 1999 lepas PNS Indonesia dan sekarang malah dihargai oleh negara asing menjadi PNS negara lain. Maka saya hidup antara dua negara ini, dimana Jepangpun seperti negara saya sendiri dan malah memberi kesempatan banyak untuk merealisasikan ide-ide yang tidak dapat dilaksanakan di Indonesia, tanah air saya selama ini. Banyak kolega, sahabat, saudara hingga orang tua angkat Jepangpun menganggap saya sebagai bagian mereka, sehingga kehidupan sehari-hari saya dan keluarga seperti biasa. Saya akan tersadarkan sebagai warga negara asing, hanya pada saat melewati imigrasi di bandara Narita atau Haneda saja.
Ide saya selama inipun telah banyak memberi warna pada teknologi Jepang, khususnya bidang antenna untuk mobile satellite communication yang terpasang di perangkat untuk Engineering Test Satellite (ETS-VIII), percobaan pada bullet train atau kereta tercepat Jepang, sistem komunikasi kendaraan yang dapat bergerak dari Wakanai di Hokkaido paling utara Jepang, hingga pulau Ishigaki di Okinawa, paling selatan Jepang. Sesuai dengan nama saya pemberian orang tua saya, “Josaphat” adalah nama raja ke empat kerajaan Yudea yang hanya hidup untuk negerinya, maka sayapun selalu berjuang hidup mati untuk negeri yang menghormati atas karya dan nilai hidup saya, sehingga falsafah hidup saya adalah“Hidup untuk negara, keluarga dan sahabat, sehingga ‘Hidup demi kehormatan negara, keluarga dan sahabat’ atau  ‘Live for pride of country, family, and friends’ yang ingin tertulis di nisan saya nanti.
Sejak temuan pertama saya, antenna transparent sekitar awal tahun 2002, banyak komunitas Jepang yang tertarik dengan hasil temuan saya. Berbagai dukungan untuk pengembangan penelitian saya, mendorong saya untuk lebih dalam melakukan penelitian bidang antenna. Kemudian saya pusatkan penelitian pada antenna-antenna yang berhubungan dengan aerospace yang biasanya menggunakan polarisasi melingkar atau circular polarization (CP). Maka sejak diangkat menjadi Associate Professor, maka saya lebih pusatkan pada penelitian CP untuk synthetic aperture radar (SAR) sensor yang biasa digunakan untuk keperluan militer sebelumnya dan sejak tahun 1990 mulai berkembang untuk keperluan sipil pula.
Saat diangkat sebagai staff pengajar, saya hanya mendapatkan satu kamar staff dan satu kamar mahasiswa di lantai 2 gedung CEReS. Ruang ini merupakan cikal bakal dariJosaphat Microwave Remote SensingLaboratory (JMRSL) atau Josaphat Laboratory. Dimana kamar mahasiswa masih dipakai bersama dua mahasiswa (Lim dari Korea dan Dash dari India) Prof. Sugimori (nantinya beliau menjadi Direktur CReSOS di UniversitasUdayana).
Hari pertama masuk saat diangkat saya undang Ibu saya, agar tahu tata cara pengangkatan di Jepang dan cara hidup serta kerja staff di Jepang. Walau banyak hal yang aneh bagi Ibu saya, saya kira cukup menarik pula bagi orang awam untuk melihat budaya kerja negara lain. Sejak diangkat langsung tidak perlu tunggu waktu lagi, agar dapat melengkapi fasilitas laboratorium,maka saya siapkan dua proposal ke Monbukagakusho (Kagakukenkyuuhi-Research Grant Aid) di tahun 2005 untuk mendapatkan pendanaan mulai tahun 2006. Saat itu langsung saya apply Young Scientist (A), yaitu Research Grant yang cukup sulit untuk Young Scientist dengan besaran dana 3 milyar rupiahan bila dikurskan ke Rupiah. Topik penelitian saat itu yang saya sampaikan adalah pengembangan sensor CP-SAR untuk pesawat terbang. Dimana CP-SAR sendiri adalah tema original yang belum ada selama ini. Sehingga penelitian ini diterima dan mendapatkan dana sekitar 2.7 milyar rupiah. Maka ini kesempatan saya untuk membangun sebagian dari anechoic chamber atau ruang kedap gelombang electromagnet dilaboratorium saya. Demikian sebagian dana saya gunakan untuk membeli alat ukur dan komponen radar. Bersamaan penelitian radar, saya kembangkan pula beberapa teknik penerapan radar untuk pemetaan perubahan lingkungan akibat bencana alam menggunakan teknik interferometric SAR (InSAR) dan Differential InSAR (DInSAR), sehingga berbagai paper sebagai laporan hasil penelitian ini dimuat di International Journal of Remote Sensing, IEEE TGRS dll.
By : Prof. Josaphat
Pengembangan Synthetic Aperture Radar (SAR)
Sejak kecil saya ingin mengembangkan radar sendiri, berlatar belakang alasan mengapa TNI-AU dan LPND Indonesia tidak bisa membuat radar sendiri saat saya tinggal di komplek TNI-AU Lanud Sulaiman Margahayu tahun 1970-1974 dan Lanud Adisumarmo tahun 1974-1989. Sejak saya belajar di Kanazawa University saat studi di S1 dan S2, maka saya membuat sistem radar sendiri, walau simple yaitu radar bawah tanah atau Ground Penetrating Radar (GPR). Sistem sendiri saya buat saat S1 menggunakan circuit yang sederhana tapi berarus tinggi hingga puluhan ribu Ampere di setiap pulsanya, sehingga dapat menembus lapisan tanah beberapa ratus meter menggunakan loop antenna berdiameter 1 hingga 10 meter. Berangkat dari hasil penelitian ini, saya ingin tahu proses hantaran gelombang di media tanah kering dan lembab atau basah, karena Jepang dan Indonesia mempunyai musim panas / kering dan hujan, sehingga parameter ini perlu diketahui. Maka saya lakukan simulasi penggunakan metoda finite difference time domain (FDTD). Metoda ini pada tahun 1990an baru mulai berkembang, dan baru sedikit peneliti yang memulai penelitian menggunakan metoda ini. Saat itu saya lakukan simulasi hantaran gelombang di dua lapisan,yaitu lapisan udara dan tanah, berikut beberapa jenis obyek yang ada di dalam tanah. Simulasi GPR dengan menggunakan FDTD dilakukan saat S2 hingga lulustahun 1997. Akhirnya saya tulis juga satu buku mengenai metoda FDTD dalam bahasa Indonesia dan diterbitkan oleh Penerbit ITB, pada saat saya menjadi dosen tamu di ITB.
Pengembangan GPRpun dilanjutkan di Indonesia pada saatkembali bekerja di BPPT pada April 1997. Saat itu mencoba mengumpulkan dana penelitian dari dalam negeri. Setelah apply beberapa, maka diperoleh pendanaan dari Riset Unggulan Terpadu (RUT) Dewan Riset Nasional (DRN) bersama rekan-rekan dari Teknik Elektro ITB. Kebetulan Indonesia saat itu mulai terjadi krisis moneter dan berujung goyahnya pondasi politik kita, sehingga kondisi keuangan negarapun tidak memungkinkan untuk mensupport penelitian kami. Hasil penelitian awal ini, setidaknya dapat menjadi awal penelitian GPR di Indonesia dan sempat dimuat di Majalah Warta Ekonomi. Hingga saat ini penelitian ini dilanjutkan oleh rekan-rekan di Teknik Elektro ITB setelah saya kembali berkarya di Jepang.
Pada saat kembali ke Jepang akhir tahun 1998, masih tetap ingin merealisasikan cita-cita sejak kecil, yaitu membangun sistem radar yang khas. Pada saat masuk ke program S3, mencari laboratorium yang dapat mengembangkan diri sendiri, maka saya pilih salah satu laboratorium di Center for Environmental Remote Sensing (CEReS), Chiba University. Setelah memilih berbagai alternative radar yang tepat untuk bidang remote sensing, maka saya pilih synthetic aperture radar (SAR), dimana sensor ini dapat dioperasikan di siang dan malam hari, serta segala cuaca karena dapat menembus awan, asap dan kabut. Hanya pengembangan SAR sensor ini memerlukan dana yang cukup besar, sehingga pada saat studi di program S3 hanya memusatkan diri pada pengembangan teori, tepatnya hamburan gelombang mikro saja. Pada saat studi di program S3 ini berbagai macam teori hamburan gelombang mikro saya kembangkan berikut penerapannya untuk monitoring lahan gambut, diameter pohon, volume biomass hutan dll. Berbagai paper telah terbit di International Journal of Remote Sensing dll, dimana jumlah paper yang terbit saat itu melebihi syarat sebagai Lecturer. Maka pada saat lulus pada Maret 2002 ditawari oleh bebeberapa Universitas dari Jepang, UK, Amerika dan Israel. Maka saya pilih Chiba University, karena lokasinya sangat dekat dengan Tokyo dan Narita International Airport, agar memudahkan aktifitas saya ke luar negeri.
Pada saat menjadi Lecturer dari tahun 2002 hingga 2005 saya kembangkan berbagai antenna, khususnya antenna berpolarisasi melingkar (circularly polarization atau CP). Saya mengembangkan antenna jenis ini, karenaantenna ini banyak dipakai utk keperluaan misi ruang angkasa dan jarang orangyang dapat mendesain sendiri di dunia pada saat itu. Berbagai antenna saya kembangkan, dan cukup banyak paper yang saya terbitkan di IEEE Transaction on Antenna and Propagation (TAP), IEE Microwave, Antenna and Propagation (MAP) yang sekarang menjadi IET MAP, IEICE dll. Hingga di dunia antenna, orangmengenal nama Josaphat sama dengan CP antenna.
FM-CW radar drone karya mahasiswa/i Prof. Josaphat
Setelah diangkat menjadi Associate Professor pada 1 April 2005, bermodalkan pengetahuan SAR sensor dan image signal processing, GPR, hamburan gelombang mikro berikut penerapannya dan teknologi antenna, maka lengkap seluruh ilmu di kepala saya sebagai modal untuk membangun radar sendiri. Maka pada tahun 2005-2006 saya mengusulkan Circularly Polarized Synthetic Aperture Radar (CP-SAR). Kemudian mendapatkan dana untuk Research Grant Aid (Kakenhi) Young Scientist (A), yaitu dana riset terbesar untuk peneliti muda yang berumur di bawah 40 tahun. Saya coba bangun fasilitas dan CP-SAR sistem untuk pesawat. Kemudian tahun 2009 saya bersama Prof Nishio Fumihiko coba mengusulkan bantuan teknologi ke Pemerintah Malaysia dalam bentuk CP-SAR onboard UAV, dan diterima untuk mengembangkan sistem ini dan tahun 2015 nanti teknologi ini akan diserahkan ke pemerintah Malaysia untuk monitoring semenanjung Malaya dan Sabah menggunakan L band SAR.

Prof. Josaphat TetukoSri Sumantyo

Senin, 18 Agustus 2014

RENUNGAN HARI MERDEKA (SATRIO, JKGR)


 Surabaya, 18/08/2014. Tahun kemarin saya terperanjat membaca kata kata tersebut di atas yang muncul di media sosial. Saya sempat berpikir kurang ajar banget yang membuat istilah tersebut. Tetapi kembali saya mengunyah setiap Informasi yang saya baca dan baru mengunyah setelah halus, agar tenggorokan saya tidak tersedak.
Ungkapan itu seperti mencerminkan sifat apatis, dan putus asa seorang Patriot dengan keadaan negerinya Indonesia yang jauh dari kondisi merdeka sepenuhnya, sehingga terucap makian itu.
Seperti yang pernah saya tulis di tahun kemarin trilogi Kemerdekaan untuk Merebut Kedaulatan bangsa seutuhnya, bahwa Bangsa Indonesia masih jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri. Dan sepertinya itu sudah tidak disadari oleh generasi sekarang, bahwa masih banyak yang harus direbut.
Membaca kenangan para generasi muda tentang masa kecilnya saat memperingati Kemerdekaan Indonesia tiap 17 Agustus, ternyata rata rata kenangannya beragam dan sama, yaitu mereka sangat senang mengingat masa kecilnya yang ikut berbagai macam perlombaan yang diadakan di kampung kampung dan perumahan di daerahnya. Dan kenangannya makin bertambah bila mereka menjadi juara di salah satu perlombaan tersebut.
Tetapi yang membuat saya miris rata rata mereka SEBEL dengan kenangan ikut Upacara bendera memperingati detik detik proklamasi,bahkan ada yang tidak mengerti tentang upacara “Renungan Suci” di makam para pahlawan yang dilaksanakan di malam 17 Agustus. Mungkin saat ini sepengatuan generasi muda malam 17 agustus itu identik dengan malam tirakatan yang diisi dengan syukuran dengan nasi tumpeng dan berkumpul dengan para tetangga di pos satpam, pos RT ataupun pos RW.
Di era 90-an, malam tirakatan masih ada acara mendengar kisah kisah dari para pejuang, Veteran yang mengangkat senjata dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan agar bisa menulari semangat perjuangan ke genarasi muda. Sekarang acara Malam tirakatan sudah melenceng dari makna dari malam 17 Agustus sesungguhnya. Mungkin sekarang hanya diisi dengan seremonial menutup jalan untuk melaksanakan tumpengan menandai bersyukurnya Republik ini, telah merdeka dan diiringi oleh lagu lagu dangdut koploan yang lagi laris.
MERDEKA BANGSAKU
Merdeka Mbahmu bisa diartikan bahwa yang mengerti arti merdeka sesungguhnya adalah mbah mbah kita yang lebih menghormati dan memaknai arti merdeka dibandingkan generasi sekarang yang tak peduli apa arti merdeka.
Generasi sekarang yang penting bisa mencari uang untuk: makan, sandang, papan dan Hiburan. Mereka lebih peduli bahwa rejekinya tetap mengalir lancar walaupun itu dari sesuatu yang menjerat dan merongrong negaranya, lagi mengancam Integritas negara ini ke depan.
Gaya hidup Hedonisme sudah mengakar merubah kepedulian anak bangsa. Mereka lebih peduli dirinya, anaknya, bahkan cucunya agar tidak akan kekurangan. Mereka lupa bahwa anak dan cucu bangsa ini juga harus tetap merdeka dengan segala sumber daya yang dipunyai, yang ditinggalkan oleh mbahnya pendiri negara Indonesia ini.
Bila ingin istilah Merdeka Mbahmu tidak identik dengan kondisi sekarang bagi bangsa Indonesia, maka ketahuilah tentang kejayaan kejayaan bangsa Indonesia dan jadikan semangat untuk mengisi kemerdekaan dan menuju kedaulatan bangsa sepenuhnya.
Mungkin saya bisa menggali apa info info untuk generasi muda tentang bangsa dan negaranya di bawah ini sebagai pengganti wejangan dari para veteran yang tidak didapatkan dalam malam tirakatan kemarin :
INDONESIA
Nama Indonesia tidak hanya dicomot begitu saja. Pada zaman Purba kepulauan tanah air kita disebut dengan berbagai nama. Orang Tionghoa menyebut dengan Nan Hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menyebut dengan Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang). Bangsa Arab menyebut dengan Jaz’ir Al Jawi (Kepulauan Jawa).
Ketika bangsa Eropa datang ke negara kita, mereka menyebut dengan Kepulauan Hindia (Indische Archipel/Indian Archipelaho). Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara (mengambil dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920).
Nama Indonesia diterbitkan sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), Singapura pada tahun 1847, yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay- Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu, untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. “Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”, ujar mereka.
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. “Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
MERAH PUTIH
Warna Merah dan Putih sangat dihormati oleh bangsa Indonesia. Warna putih dan merah dianggap lambang KEAGUNGAN, Kesaktian KEJAYAAN.
Hal ini tidak terlepas dari sejarah Bangsa Indonesia purba yang saat itu masih mendiami daratan Asia Tenggara, kurang lebih 6000 tahun lalu yang mengganggap matahari dan bulan adalah benda benda langit yang sangat penting dalam perjalanan hidup umat manusia. Penghormatan terhadap benda benda langit tersebut disebut “Penghormatan Surya Candra”.
Bangsa Indonesia menghubungkan Matahari dengan warna merah dan bulan dengan warna putih, akibat dari penghormatan Surya Candra maka bangsa Indonesia sangat menghormati warna merah dan putih.
Bagi bangsa Indonesia dan bangsa Aestronia, warna merah dan putih merupakan lambang keagungan, kesaktian dan kejayaan. Berdasarkan anggapan tersebut maka Lambang perjuangan bangsa Indonesia dan Lambang negara nasional yang berbentuk bendera berwarna Merah dan Putih.
Dan Bendera merah putih bergelar “Sang” yang berarti kemegahan turun temurun, sehingga “Sang Saka” berarti bendera warisan yang dimuliakan.
Bandira / Bandir yang artinya umbul-umbul. Bandiera dari Bahasa Itali Rumpun Romawi Kuno. Dalam Bahasa Sangsakerta untuk Pataka, Panji, Dhuaja.
Bendera adalah lambang kedaulatan kemerdekaan. Di mana negara yang memiliki dan mengibarkan bendera sendiri, berarti negara itu bebas mengatur segala bentuk aturan negara tersebut. Menurut W.J.S. Purwadarminta, Bendera adalah sepotong kain segi tiga atau segi empat diberi tongkat (tiang) dipergunakan sebagai lambang, tanda, panji tunggul.
UNTUK DIRENUNGKAN
“Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu. Siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran kebesarannya ?.
Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga, Kediri dan Singasari, Majapahit dan Pajajaran. Kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung.
“Siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar di Persia dan di Tiongkok.
Tetapi sebaliknya, siapakah yang tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian besarnya hari dulu, memiliki cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, yang seharusnya pasti masih mempunyai kebisaan-kebisaan meningkat lagi, di atas tingkat kebesaran untuk kemudian hari.
Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu !. Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa “Nasionalnya”, lantas menyala lagi api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.” (Ir.Soekarno, dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial Hindia Belanda, 1930).
Sun Tzu berkata, untuk menghancurkan suatu bangsa salah satu caranya adalah dengan mengaburkan/menutupi Sejarah Kejayaaan dulu bangsa tersebut.
Maka PELAJARILAH Kejayaan bangsamu agar menyala api semangat nasionalisme dan mendapatkan nyawa baru dan Tenaga baru untuk mengisi kemerdekaan menuju Indonesia Jaya selanjutnya, atau merdeka itu hanya kiasan “Merdeka Mbahmu”.
diolah dari berbagai sumber (By Satrio). JKGR