Label

Senin, 18 Agustus 2014

RENUNGAN HARI MERDEKA (SATRIO, JKGR)


 Surabaya, 18/08/2014. Tahun kemarin saya terperanjat membaca kata kata tersebut di atas yang muncul di media sosial. Saya sempat berpikir kurang ajar banget yang membuat istilah tersebut. Tetapi kembali saya mengunyah setiap Informasi yang saya baca dan baru mengunyah setelah halus, agar tenggorokan saya tidak tersedak.
Ungkapan itu seperti mencerminkan sifat apatis, dan putus asa seorang Patriot dengan keadaan negerinya Indonesia yang jauh dari kondisi merdeka sepenuhnya, sehingga terucap makian itu.
Seperti yang pernah saya tulis di tahun kemarin trilogi Kemerdekaan untuk Merebut Kedaulatan bangsa seutuhnya, bahwa Bangsa Indonesia masih jauh dari makna kemerdekaan itu sendiri. Dan sepertinya itu sudah tidak disadari oleh generasi sekarang, bahwa masih banyak yang harus direbut.
Membaca kenangan para generasi muda tentang masa kecilnya saat memperingati Kemerdekaan Indonesia tiap 17 Agustus, ternyata rata rata kenangannya beragam dan sama, yaitu mereka sangat senang mengingat masa kecilnya yang ikut berbagai macam perlombaan yang diadakan di kampung kampung dan perumahan di daerahnya. Dan kenangannya makin bertambah bila mereka menjadi juara di salah satu perlombaan tersebut.
Tetapi yang membuat saya miris rata rata mereka SEBEL dengan kenangan ikut Upacara bendera memperingati detik detik proklamasi,bahkan ada yang tidak mengerti tentang upacara “Renungan Suci” di makam para pahlawan yang dilaksanakan di malam 17 Agustus. Mungkin saat ini sepengatuan generasi muda malam 17 agustus itu identik dengan malam tirakatan yang diisi dengan syukuran dengan nasi tumpeng dan berkumpul dengan para tetangga di pos satpam, pos RT ataupun pos RW.
Di era 90-an, malam tirakatan masih ada acara mendengar kisah kisah dari para pejuang, Veteran yang mengangkat senjata dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan agar bisa menulari semangat perjuangan ke genarasi muda. Sekarang acara Malam tirakatan sudah melenceng dari makna dari malam 17 Agustus sesungguhnya. Mungkin sekarang hanya diisi dengan seremonial menutup jalan untuk melaksanakan tumpengan menandai bersyukurnya Republik ini, telah merdeka dan diiringi oleh lagu lagu dangdut koploan yang lagi laris.
MERDEKA BANGSAKU
Merdeka Mbahmu bisa diartikan bahwa yang mengerti arti merdeka sesungguhnya adalah mbah mbah kita yang lebih menghormati dan memaknai arti merdeka dibandingkan generasi sekarang yang tak peduli apa arti merdeka.
Generasi sekarang yang penting bisa mencari uang untuk: makan, sandang, papan dan Hiburan. Mereka lebih peduli bahwa rejekinya tetap mengalir lancar walaupun itu dari sesuatu yang menjerat dan merongrong negaranya, lagi mengancam Integritas negara ini ke depan.
Gaya hidup Hedonisme sudah mengakar merubah kepedulian anak bangsa. Mereka lebih peduli dirinya, anaknya, bahkan cucunya agar tidak akan kekurangan. Mereka lupa bahwa anak dan cucu bangsa ini juga harus tetap merdeka dengan segala sumber daya yang dipunyai, yang ditinggalkan oleh mbahnya pendiri negara Indonesia ini.
Bila ingin istilah Merdeka Mbahmu tidak identik dengan kondisi sekarang bagi bangsa Indonesia, maka ketahuilah tentang kejayaan kejayaan bangsa Indonesia dan jadikan semangat untuk mengisi kemerdekaan dan menuju kedaulatan bangsa sepenuhnya.
Mungkin saya bisa menggali apa info info untuk generasi muda tentang bangsa dan negaranya di bawah ini sebagai pengganti wejangan dari para veteran yang tidak didapatkan dalam malam tirakatan kemarin :
INDONESIA
Nama Indonesia tidak hanya dicomot begitu saja. Pada zaman Purba kepulauan tanah air kita disebut dengan berbagai nama. Orang Tionghoa menyebut dengan Nan Hai (Kepulauan Laut Selatan). Berbagai catatan kuno bangsa India menyebut dengan Dwipantara (Kepulauan Tanah Seberang). Bangsa Arab menyebut dengan Jaz’ir Al Jawi (Kepulauan Jawa).
Ketika bangsa Eropa datang ke negara kita, mereka menyebut dengan Kepulauan Hindia (Indische Archipel/Indian Archipelaho). Pada tahun 1920-an, Ernest Francois Eugene Douwes Dekker (1879-1950), yang kita kenal sebagai Dr. Setiabudi (beliau adalah cucu dari adik Multatuli), memopulerkan suatu nama untuk tanah air kita yang tidak mengandung unsur kata “India”. Nama itu tiada lain adalah Nusantara (mengambil dari Pararaton, naskah kuno zaman Majapahit yang ditemukan di Bali pada akhir abad ke-19 lalu diterjemahkan oleh J.L.A. Brandes dan diterbitkan oleh Nicholaas Johannes Krom pada tahun 1920).
Nama Indonesia diterbitkan sebuah majalah ilmiah tahunan, Journal of the Indian Archipelago and Eastern Asia (JIAEA), Singapura pada tahun 1847, yang dikelola oleh James Richardson Logan (1819-1869), orang Skotlandia yang meraih sarjana hukum dari Universitas Edinburgh. Kemudian pada tahun 1849 seorang ahli etnologi bangsa Inggris, George Samuel Windsor Earl (1813-1865), menggabungkan diri sebagai redaksi majalah JIAEA.
Dalam JIAEA Volume IV tahun 1850, halaman 66-74, Earl menulis artikel On the Leading Characteristics of the Papuan, Australian and Malay- Polynesian Nations. Dalam artikelnya itu Earl menegaskan bahwa sudah tiba saatnya bagi penduduk Kepulauan Hindia atau Kepulauan Melayu, untuk memiliki nama khas (a distinctive name), sebab nama Hindia tidaklah tepat dan sering rancu dengan penyebutan India yang lain. Earl mengajukan dua pilihan nama: Indunesia atau Malayunesia (nesos dalam bahasa Yunani berarti pulau). Pada halaman 71 artikelnya itu tertulis: … the inhabitants of the Indian Archipelago or Malayan Archipelago would become respectively Indunesians or Malayunesians.
Putra ibu pertiwi yang mula-mula menggunakan istilah “Indonesia” adalah Suwardi Suryaningrat (Ki Hajar Dewantara). Ketika dibuang ke negeri Belanda tahun 1913 beliau mendirikan sebuah biro pers dengan nama Indonesische Pers-bureau. Makna politis Pada dasawarsa 1920-an, nama “Indonesia” yang merupakan istilah ilmiah dalam etnologi dan geografi itu diambil alih oleh tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan tanah air kita, sehingga nama “Indonesia” akhirnya memiliki makna politis, yaitu identitas suatu bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan!. Akibatnya pemerintah Belanda mulai curiga dan waspada terhadap pemakaian kata ciptaan Logan itu.
Pada tahun 1922 atas inisiatif Mohammad Hatta, seorang mahasiswa Handels Hoogeschool (Sekolah Tinggi Ekonomi) di Rotterdam, organisasi pelajar dan mahasiswa Hindia di Negeri Belanda (yang terbentuk tahun 1908 dengan nama Indische Vereeniging) berubah nama menjadi Indonesische Vereeniging atau Perhimpoenan Indonesia. Majalah mereka, Hindia Poetra, berganti nama menjadi Indonesia Merdeka. Bung Hatta menegaskan dalam tulisannya, “Negara Indonesia Merdeka yang akan datang (de toekomstige vrije Indonesische staat) mustahil disebut “Hindia Belanda”. Juga tidak “Hindia” saja, sebab dapat menimbulkan kekeliruan dengan India yang asli. “Bagi kami nama Indonesia menyatakan suatu tujuan politik (een politiek doel), karena melambangkan dan mencita-citakan suatu tanah air di masa depan, dan untuk mewujudkannya tiap orang Indonesia (Indonesier) akan berusaha dengan segala tenaga dan kemampuannya”, ujar mereka.
Sementara itu, di tanah air Dr. Sutomo mendirikan Indonesische Studie Club pada tahun 1924. Tahun itu juga Perserikatan Komunis Hindia berganti nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Lalu pada tahun 1925 Jong Islamieten Bond membentuk kepanduan Nationaal Indonesische Padvinderij (Natipij). Itulah tiga organisasi di tanah air yang mula-mula menggunakan nama “Indonesia”.
Akhirnya nama “Indonesia” dinobatkan sebagai nama tanah air, bangsa dan bahasa kita pada Kerapatan Pemoeda-Pemoedi Indonesia tanggal 28 Oktober 1928, yang kini kita sebut Sumpah Pemuda. “Pada bulan Agustus 1939 tiga orang anggota Volksraad (Dewan Rakyat; DPR zaman Belanda), Muhammad Husni Thamrin, Wiwoho Purbohadidjojo, dan Sutardjo Kartohadikusumo, mengajukan mosi kepada Pemerintah Belanda agar nama “Indonesia” diresmikan sebagai pengganti nama “Nederlandsch-Indie”. Tetapi Belanda keras kepala sehingga mosi ini ditolak mentah-mentah. Maka kehendak Allah pun berlaku. Dengan jatuhnya tanah air kita ke tangan Jepang pada tanggal 8 Maret 1942, lenyaplah nama “Hindia Belanda” untuk selama-lamanya. Lalu pada tanggal 17 Agustus 1945, atas berkat rahmat Allah Yang Mahakuasa, lahirlah Republik Indonesia.
MERAH PUTIH
Warna Merah dan Putih sangat dihormati oleh bangsa Indonesia. Warna putih dan merah dianggap lambang KEAGUNGAN, Kesaktian KEJAYAAN.
Hal ini tidak terlepas dari sejarah Bangsa Indonesia purba yang saat itu masih mendiami daratan Asia Tenggara, kurang lebih 6000 tahun lalu yang mengganggap matahari dan bulan adalah benda benda langit yang sangat penting dalam perjalanan hidup umat manusia. Penghormatan terhadap benda benda langit tersebut disebut “Penghormatan Surya Candra”.
Bangsa Indonesia menghubungkan Matahari dengan warna merah dan bulan dengan warna putih, akibat dari penghormatan Surya Candra maka bangsa Indonesia sangat menghormati warna merah dan putih.
Bagi bangsa Indonesia dan bangsa Aestronia, warna merah dan putih merupakan lambang keagungan, kesaktian dan kejayaan. Berdasarkan anggapan tersebut maka Lambang perjuangan bangsa Indonesia dan Lambang negara nasional yang berbentuk bendera berwarna Merah dan Putih.
Dan Bendera merah putih bergelar “Sang” yang berarti kemegahan turun temurun, sehingga “Sang Saka” berarti bendera warisan yang dimuliakan.
Bandira / Bandir yang artinya umbul-umbul. Bandiera dari Bahasa Itali Rumpun Romawi Kuno. Dalam Bahasa Sangsakerta untuk Pataka, Panji, Dhuaja.
Bendera adalah lambang kedaulatan kemerdekaan. Di mana negara yang memiliki dan mengibarkan bendera sendiri, berarti negara itu bebas mengatur segala bentuk aturan negara tersebut. Menurut W.J.S. Purwadarminta, Bendera adalah sepotong kain segi tiga atau segi empat diberi tongkat (tiang) dipergunakan sebagai lambang, tanda, panji tunggul.
UNTUK DIRENUNGKAN
“Tuan-tuan Hakim, siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya, kalau mendengarkan cerita tentang keindahan itu. Siapakah yang tidak menyesalkan hilangnya kebesaran kebesarannya ?.
Siapakah orang Indonesia yang tidak hidup semangat nasionalnya kalau mendengarkan riwayat tentang kebesaran kerajaan Melayu dan Sriwijaya. Tentang kebesaran Mataram yang pertama, kebesaran zaman Sindok dan Erlangga, Kediri dan Singasari, Majapahit dan Pajajaran. Kebesaran pula dari Bintara, Banten dan Mataram kedua di bawah Sultan Agung.
“Siapakah orang Indonesia yang tidak mengeluh hatinya kalau ia ingat akan benderanya yang dulu ditemukan dan dihormati orang sampai di Madagaskar di Persia dan di Tiongkok.
Tetapi sebaliknya, siapakah yang tidak hidup harapannya dan kepercayaannya, bahwa rakyat yang demikian besarnya hari dulu, memiliki cukup kekuatan untuk mendatangkan hari kemudian yang indah pula, yang seharusnya pasti masih mempunyai kebisaan-kebisaan meningkat lagi, di atas tingkat kebesaran untuk kemudian hari.
Siapakah yang tidak seolah-olah mendapat nyawa baru dan tenaga baru kalau ia membaca riwayat zaman dulu itu !. Begitulah pula rakyat, dengan mengetahui kebesaran hari dulu itu, lantas hiduplah rasa “Nasionalnya”, lantas menyala lagi api harapan di dalam hatinya, dan lantas mendapat lagilah rakyat itu nyawa baru dan tenaga baru oleh karenanya.” (Ir.Soekarno, dalam pidato pembelaannya di depan Pengadilan Kolonial Hindia Belanda, 1930).
Sun Tzu berkata, untuk menghancurkan suatu bangsa salah satu caranya adalah dengan mengaburkan/menutupi Sejarah Kejayaaan dulu bangsa tersebut.
Maka PELAJARILAH Kejayaan bangsamu agar menyala api semangat nasionalisme dan mendapatkan nyawa baru dan Tenaga baru untuk mengisi kemerdekaan menuju Indonesia Jaya selanjutnya, atau merdeka itu hanya kiasan “Merdeka Mbahmu”.
diolah dari berbagai sumber (By Satrio). JKGR


Tidak ada komentar:

Posting Komentar