Label

Selasa, 08 Juli 2014

Uji Fungsi dan Kecanggihan F-16C/D Block 52ID


Pelaksanaan penerbangan uji fungsi pesawat tempur F16C-52ID bernomor ekor TS 1625 telah sukses dilaksanakan pada tanggal 21 April 2014. Pesawat berkursi tunggal ini merupakan pesawat pertama yang telah selesai melaksanakan program regenerisasi di Depo Regenerisasi Hill AFB. Proyek yang dinamakan Peace Bima Sena II yang memakan waktu hampir 14 bulan ini dimulai sejak bulan April 2013. Penerbangan uji fungsi dilaksanakan guna memastikan semua sistem yang terintregrasi bisa beroperasi dengan baik.

Sebelumnya Kasau, Marsekal TNI I.B Putu Dunia didampingi Atase Udara RI di Washington DC, Kol. Pnb. Benedictus B Koessetianto dan Technical Liaison Officer Mayor Tek. Subagyo telah melaksanakan kunjungan kerja selama 2 hari di Depo Regenerasi Hill AFB, Utah, pada 4-5 April 2014. Dalam kunjungan tersebut Kasau menerima laporan dari Maj Gen Brent Baker, Komandan Kompleks Logistik tentang pelaksanaan regenerasi F-16 C/D-52ID dalam Proyek Peace Bima Sena II di Hill AFB.  Dalam kesempatan tersebut Kasau melaksanakan inspeksi ke hangar tempat regenerasi pesawat dilaksanakan. Kasau juga melihat langsung pesawat pertama (TS 1625) yang telah selesai melaksanakan upgrade dan modifikasi. Kasau menyampaikan harapan agar regenerasi dapat dilaksanakan secara optimal sesuai jadwal yang telah direncanakan.

Pengadaan 24 pesawat F16 C/D-52ID merupakan kerjasama antara pemerintah AS dan Indonesia berdasarkan kontrak yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 2012. Pelaksanaan regenerasi meliputi structural/airframe upgrade 24 pesawat Block 25 agar mempunyai usia pakai lebih lama, serta modernisasi sistem avionik dan mesin. Diharapkan program regenerasi akan meningkatkan kemampuan struktur pesawat sehingga dapat dioperasikan hingga mencapai masa usia pakai optimal. Disisi lain modernisasi avionik dan mesin pesawat akan memiliki kemampuan tempur yang setara dengan F-16 block 52.

Selain pengadaan 24 pesawat F-16, kontrak kerjasama juga meliputi pengadaan suku cadang, peralatan pendukung, pelatihan, JMPS (Joint Mission Planning System), RIAIS (Rackmont Improve Avionic Intermediate System), AME (Alternate Mission Equipment) dan PMEL (Precision Measurment Equipment Laboratory).

Dua puluh pesawat F-16C/D-52ID yang terdiri dari lima pesawat F-16D berkursi ganda dan 19 pesawat F-16C berkursi tunggal akan dikirimkan secara bertahap ke Indonesia. Enam orang penerbang Skadron Udara 3 sudah mulai melaksanakan pelatihan "differential training" di Tucson, Arizona,  mulai tanggal 30 Juni-14 Juli 2014. Selanjutnya dua penerbang akan ikut ferry flight tiga pesawat pertama dari Utah-Alaska–Guam–Madiun dengan air refueling sepanjang perjalanan yang direncanakan berangkat tanggal 15 Juli hingga tanggal 20 Juli 2014 tiba di Lanud Iswahjudi, Madiun Jawa Timur.

Pengadaan 24 F-16C/D-52ID tersebut akan melengkapi Skadron Udara 3 Lanud Iswahjudi dan Skadron Udara 16 Lanud Rusmin Nurjadin untuk menambah kekuatan tempur  TNI Angkatan Udara sebagai tulang punggung kekuatan dirgantara (air power) kita demi menjaga keamanan nasional Indonesia.

Kecanggihan F-16C/D Block 52ID 

Hari Senin 30 Juni 2014 adalah hari pertama 6 (enam) penerbang F-16A/B dari Skadron Udara 3 Lanud Iswahyudi, Madiun, mengikuti ground training di salah satu pangkalan US Air National Guard Tucson, Arizona. Ltc Pacheco sebagai flight commander menerima kedatangan 6 (enam) penerbang di 162nd Fighter Wing yang bertugas sebagai pusat International Conversion Course F-16 C/D di US. 162nd Fighter Wing membawahi 3 Skadron tempur F-16 yaitu 148th Fighter Squadron (FS), 152nd FS dan 195 FS yang semuanya bertugas sebagai skadron konversi bagi siswa internasional.

Syarat yang diutamakan bagi siswa Indonesia harus sudah cakap menerbangkan pesawat F-16A. Hal ini memang sangat masuk akal karena para instruktur yang mengajar hanya memberikan pendalaman avionik dan sistem pesawat yang berbeda antara block 15 dengan block 52.

Di antara pendalaman materi yang signifikan perbedaannya adalah sistem MMC (Modular Mission Computer) yang menggantikan XFCC, MFD (Multi Function Display) yang menggantikan display analog, data link, SMS (Store Management System), EGI (Embedded GPS/INS) yg menggantikan sistem INS, Have Quick system, MWS (Missile Warning System), jammer dan Electronic Warfare (EW) system.

Bisa dibayangkan betapa canggihnya pesawat F-16 C/D block 52ID dan betapa bergunanya teknologi yang dimilikinya untuk sistem pertahanan udara nasional kita maupun kegiatan operasi udara lainnya.

DISPENAU


Rabu, 02 Juli 2014

Good Read: Implikasi Teknologi Informasi Terhadap Strategi Pertahanan

Saat ini, teknologi informasi (TI) sudah menyentuh setiap aspek kehidupan manusia. Teknologi informasi tidak hanya dipakai dalam bidang industri ataupun ekonomi, tetapi juga di bidang pertahanan dengan implikasi yang sangat luas terutama di tinjau dari perumusan strategi maupun penerapan manajemen.

Implikasi teknologi informasi dilihat dari sisi strategi dan perumusan doktrin menyebabkan terjadinya pergeseran apa yang oleh Clausewitz (seorang tentara dan intelektual Prussia) disebut sebagai "Center of Gravity", yaitu dari konsep penguasaan medan kritik menjadi penguasaan informasi. Oleh karenanya hakekat ancaman pun, bergeser dari ancaman yang datang dari negara (state threat) melalui penggunaan senjata pemusnah massal menjadi kelompok (non state threat) dengan penguasaan teknologi tinggi. Sedangkan dari sisi penerapan manajemen terjadi pergeseran paradigma dari manajemen yang semula terfokus pada kualitas bergeser menuju reengineering dan terakhir mengacu pada kecepatan (velocity) melalui konsep Knowledge Management (KM).

Teknologi Informasi dan Strategi

Dewasa ini perkembangan teknologi informasi bukan lagi merupakan evolusi tetapi sudah merupakan lompatan sangat cepat yang mengagumkan. Data tahun 90-an menunjukan bahwa peningkatan kemampuan komputer menjadi dua kali lipat setiap delapan belas bulan, dan jumlah pengguna internet meningkat dua kali lipat setiap setiap tahunnya. Serat optik tunggal mampu menghantar satu setengah juta percakapan dalam waktu yang bersamaan, sedangkan compact disk (CD) mampu menyimpan data sangat besar. Kemajuan semacam ini tentunya membawa implikasi yang sangat luas dalam bidang pertahanan terutama dalam perumusan strategi dan hakekat ancaman.

1. Perumusan Strategi

Informasi merupakan aset yang strategis bagi setiap organisasi. Inilah yang menyebabkan mengapa banyak pemerintahan ataupun badan tertentu menghabiskan jutaan bahkan miliaran dolar untuk mendapatkan informasi mengenai segala sesuatu yang berkaitan dengan ancaman potensial bagi keamanan mereka. Tanpa informasi yang tepat dapat menyebabkan kegagalan khususnya dalam bidang pertahanan, sehingga kemampuan untuk menyediakan informasi potensial merupakan faktor yang sangat menentukan dari kekuatan pertahanan suatu negara.

Dalam doktrin militer, informasi merupakan bagian integral dari komando dan kendali yang merupakan kunci setiap operasi. Dengan demikian maka setiap langkah yang diambil ditujukan untuk mencapai keunggulan informasi.

Kemajuan teknologi informasi menyebabkan terjadinya pergeseran konsep memenangkan perang. Pada awalnya, cukup dengan konsep Komando dan Kendali (Kodal/K2), yang pada prinsipnya merupakan hubungan intern antara komandan dengan anak buahnya dalam tugas operasi. Tetapi kemudian, ternyata komunikasi dengan kesatuan lain dalam suatu operasi menjadi suatu keharusan. Maka lahirlah konsep baru yaitu Komando, Kendali, dan Komunikasi (K3). Dengan teknologi komunikasi yang semakin mutakhir, keterangan atau data intelijen (K3I)/Command, control, communications and intelligence (C3I). Di era 90 an, dengan kemajuan teknologi komputer lahirlah konsep Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer dan Intelijen (K4I). Meskipun di Indonesia, K4I masih menjadi angan-angan tetapi paling menyiratkan adanya suatu pandangan bahwa sistem informasi yang berbasiskan komputer menjadi fungsi yang sangat penting dalam peperangan.

Saat ini menurut para analis, ada konsep baru yaitu Komando, Kendali, Komunikasi, Komputer, Intelijen, dan Manajemen Pertempuran (k4I/MP) sebagai satu kesatuan yang bulat dalam rangka memenangkan pertempuran. Hal ini menunjukan bahwa ternyata teknologi saja tidak cukup untuk memenangkan pertempuran tetapi manajemen pertempuran juga memegang peran penting dalam memenangkan perang.

Clausewitz dengan teori Center of Gravity menyatakan barang siapa menguasai titik berat dialah yang memenangkan perang. Berdasarkan teori ini, perang berkembang dari waktu ke waktu sesuai perkembangan teknologi. Pada saat awal perkembangan teknologi, barang siapa menguasai medan strategis, menguasai suatu wilayah, yang dalam skala yang lebih luas, barang siapa menguasai daerah Eropa dan Balkan (heart land), menguasai dunia. Dalam tahap selanjutnya, dengan kemajuan teknologi kelautan, maka barang siapa menguasai lautan, menguasai dunia. Setelah teknologi kedirgantaraan berkembang, maka barang siapa menguasai udara, menguasai dunia. Ini terbukti dengan perlombaan yang seru antara negara adidaya untuk memajukan angkatan udaranya, sehingga doktrin perangnya pun berubah dengan mengedepankan serangan udara strategis. Dengan perkembangan teknologi kedirgantaraan yang semakin pesat, maka barang siapa menguasai udara dengan ketinggian 50.000 mil atau lebih, mengasai dunia. Terlebih lagi bila dapat menguasai lunar libration pointsatau yang lebih dikenal dengan L4 dan L5 yang merupakan tempat-tempat dimana gaya gravitasi bulan dan bumi sama besarnya. Kemajuan teknologi ini mencetuskan konsep Perang Bintang pada jaman presiden Ronald Reagan. Di era 90-an semenjak perkembangan teknologi informasi menjadi sangat pesat, maka barang siapa menguasai informasi, menguasai dunia. Inilah yang mendorong negara adidaya untuk berlomba-lomba memasuki medan peperangan yang baru yaitu perang informasi terutama dengan memanfaatkan media masa dan jaringan informasi global. Hal ini dapat dibuktikan dengan kejatuhan pemerintahan seperti Haiti dan Uni Soviet, yang tidak terlepas dari perang informasi global tersebut.

Dengan adanya perubahan konsep perumusan strategi maka sebagai konsekuensinya akan merubah manajemen terutama dari sisi cara kerja organisasi, skala organisasi, dan integrasi sistem.

Dari sisi cara kerja, organisasi militer saat ini memerlukan personel yang "pintar", untuk mengawaki teknologi yang cukup canggih. Konsekuensinya personel militer haruslah mengenyam pendidikan yang lebih tinggi dibandingkan orang bisnis. Sebagai bukti, hasil survei yang dilaksanakan oleh North Carolina's Center for Creative Leadership menyatakan hanya 19 persen dari manager di Amerika mempunyai pendidikan post graduate. Jadi, dalam peperangan saat ini terbukti bahwa tentara tidak hanya sekedar menarik pelatuk saja tetapi harus mempunyai kemampuan yang cukup tinggi.

Dari sisi skala organisasi, teknologi informasi membuat organisasi militer menjadi lebih flat, sehingga pengendalian dapat dilakukan dengan lebih longgar. Konsekuensinya, kekuasaan pengambilan keputusan dapat diserahkan pada tingkat serendah mungkin.

Dari sisi integrasi sistem, teknologi informasi membuat kompleksitas pada organisasi pertahanan lebih berat dari pada sebelumnya. Kompleksitas ini dapat diatasi dengan menggunakan peranti lunak yang dirancang untuk keperluan tersebut, terutama peranti lunak Data Base. Dengan demikian integrasi sistem dalam organisasi militer menjadi lebih baik.

2. Hakekat Ancaman

Kemajuan teknologi pun menyebabkan terjadinya pergeseran hakekat ancaman. Saat ini hakekat bergeser dari yang sifatnya berasal dari negara (state threat) berideologi tertentu dengan kekuatan senjata menuju pada kelompok (non state threat) dengan tingkat penguasaan teknologi yang tinggi. Menurut Robert D. Steele dalam bukunya "The Transformation of War and the Future of the Corps" saat ini lawan / hakekat ancaman dikelompokkan menjadi :

a. Militer dengan sistem yang canggih dengan dukungan logistik yang sangat kuat (the high-tech brute).

b. Gabungan antara para penjahat dan teroris seperti penyelundup narkoba (the low-tech brute)

c. Kelompok massa tanpa senjata yang biasanya didorong oleh faktor agama, ideologi/SARA (the low-tech seer)

d. Gabungan antara para penjahat informasi dan spionase ekonomi dengan penguasaan teknologi yang tinggi seperti para hacker (the high-tech seer)

Dilihat dari penguasaan teknologi saat ini dunia terbagi menjadi dua kutub yaitu negara berteknologi tinggi dan negara yang relatif tertinggal secara teknologi. Penguasaan teknologi yang sangat maju justru menjadi ancaman bagi negara yang bersangkutan. Sebagai contoh, Amerika Serikat sebagai negara yang menguasai teknologi menyadari bahwa penguasaan teknologi berpotensi menjadi ancaman bagi negaranya. Seperti yang dinyatakan dalam konferensi tahunan yang diadakan oleh Army War College tahun 1998 dengan tajuk "Challenging the United State Symmetrically and Asymmetrically: Can America be Defeated ?." Dari hasil konferensi tersebut diperoleh jawaban yang jelas yaitu bahwa Amerika tidak akan dapat ditaklukkan melalui serangan militer yang simetris (seimbang), tetapi Amerika dapat ditaklukkan dengan serangan yang asimetris (tidak seimbang).

Teknologi berpotensi menjadi ancaman menonjol yang sifatnya asimetris (asymmetric threat). Ancaman asimetris ini ternyata menjadi kenyataan dengan terjadinya serangan yang dikenal sebagai 911 terhadap WTC (World Trade Center) oleh kelompok tertentu (low tech seer) dengan memanfaatkan kecanggihan teknologi transportasi. Sasaran serangan teroris terhadap WTC dan Pentagon adalah untuk menghancurkan simbol kedigdayaan teknologi Amerika. Dari kejadian ini dapat ditarik kesimpulan bahwa teknologi canggih disamping merupakan sarana mengungguli lawan dalam rangka memenangkan perang juga sekaligus merupakan sumber ancaman yang potensial.

Masih berkaitan dengan teknologi, ancaman yang menonjol pada saat ini dan jangka waktu ke depan justru berasal bukan dari negara luar tetapi berasal dari kerawanan yang timbul akibat kemajuan teknologi (non state threat). Sebagai contoh, pembelian komputer dan peralatan berteknologi tinggi lainnya; pembangunan dam/pusat listrik; industri; jaringan telekomunikasi; dan sebagainya.

Pemanfaatan dan pembangunan teknologi tinggi seperti ini akan sangat potensial menjadi ancaman bagi negara bila tidak disertai tindakan pengamanan yang memadahi. Ingat kejadian 911 dilakukan dengan menggunakan dua "peluru kendali raksasa berawak" dengan kode Boeing 767 yang merupakan bagian dari industri transportasi Amerika.

. . . . . . . . . . . . . . . . 

Perang modern tidak lagi dilakukan secara berhadap-hadapan antara dua pasukan di medan terbuka. Begitu dimulai, perang ini akan lebih banyak dilakukan secara impersonal dengan teknologi, dipersiapkan jauh-jauh hari, dikendalikan dari jarak jauh, dan dilakukan malam hari. Pembantaian dibuat seperti play station, dan sang pembunuh tidak perlu mencium langsung bau anyir darah. Pada pembantaian di Irak ini, perang sangat teroptimasi dengan teknologi informasi yang luar biasa.
 
TI pada pra-operasi militer

Jauh sebelumnya, intelijen AS akan memburu data dari semua penjuru. Satelit mata-mata AS membuat citra yang paling rinci yang pernah ada. Kalau satelit sipil seperti Ikonos atau Quickbird hanya mampu membuat citra dengan kehalusan pixel satu atau setengah meter, maka kita harus yakin bahwa satelit mata-mata akan mampu membaca tulisan koran.

Sementara itu shuttle radar topographic mission telah memetakan topografi seluruh dunia dengan pixel lima meter. Ini data yang di-release untuk sipil. Berapa akurasi militer yang dirahasiakan, tidak kita ketahui.

Dengan citra dan topografi ini, AS bisa membuat peta mutakhir daerah manapun tanpa perlu ijin atau sepengetahuan pemerintah manapun. Memang, dari peta ini beberapa ciri bangunan atau nama-nama geografis belum bisa diketahui. Untuk itulah AS akan mengirim spion untuk mengumpulkan informasi objek terutama yang dianggap vital dan tak "terbaca" dari angkasa. Juga tempat-tempat yang diduga beranjau. Mereka akan "berwisata" sambil merekam objek-objek "menarik" dengan piranti sistem posisi global (GPS). Piranti ini begitu mungil, bisa ditaruh dalam jam tangan, atau korek api. Begitu melihat objek menarik, wisatawan gadungan ini akan mengaktifkan GPS, sehingga objek itu terekam beserta posisinya. Kalau spion ini salah, petanya juga salah. Akibatnya fatal. Di Beograd jet AS pernah membom kedubes Cina, yang dikiranya markas Slobodan Milosevic. Di Irak juga ada apartemen yang disangka mes militer. Malah Saddam sendiri tak diketahui ada di mana.

AS memiliki peta yang lebih rinci dari otoritas nasional manapun di dunia. Dengan data spasial tiga dimensi ini, pilot-pilot AS bisa melakukan simulasi terbang yang sangat realistis atas kota-kota di dunia. Mereka juga bisa optimalkan rute gerak pasukan, baik di darat maupun udara. Model elevasi digital (DEM) yang ada pada sistem ini juga yang menuntun rudal jelajah Tomahawk atau pesawat Stealth ke sasaran dengan efisien, tanpa takut menabrak gunung atau apapun.

Tapi itu semua belum cukup. AS juga ingin informasi tentang orang-orang yang perlu diawasi. Untuk itu intelijen AS menyadap informasi yang lalu lalang via jaringan telekomunikasi (dengan satelit AS), juga data perbankan dan data kartu kredit. Dengan analisis database, maka kebiasaan orang-orang yang disorot dinas rahasia AS bisa diikuti. Ostrovsky (1990) dalam "By Way of Deception" melukiskan, bahwa dengan analisis database kartu kredit saja, CIA atau Mossad bisa mempelajari penerbangan atau hotel apa yang sering dipakai seseorang, berapa pengeluarannya, apa yang suka dibelinya, siapa yang sering diteleponnya, siapa yang mengirim dana padanya, dan kapan dia ke mana. Tak heran bahwa dinas-dinas rahasia itu punyabackground & insider information yang sangat rinci tentang tokoh-tokoh di negeri Islam. Mungkin di antara mereka ada yang berbakat jadi pengkhianat.

CIA-World-Fact-Book yang sering jadi referensi, adalah versi sipil dari bank data yang sangat lengkap. Di situ tersimpan data logistik di tiap daerah, yang di masa perang akan penting. Misalnya, bahwa di suatu desa ada sekian penduduk, sekian yang bisa perang, sekian janda (mungkin disiapkan untuk "hiburan" tentara AS), sekian ton pangan, dan sebagainya. Informasi itu penting untuk manuver pasukan, evakuasi, ataupun menduga lokasi musuh dalam perang gerilya. Di Indonesia, data seperti ini dikelola Direktorat Topografi TNI-AD dengan memanfaatkan organnya sampai ke desa, yaitu Babinsa. Bedanya, AS mengumpulkan laporan geografi militer dari seluruh dunia.

Dengan data yang begitu lengkap, AS bisa membangun sistem informasi geografis (GIS) yang luar biasa. Mereka bisa simulasi berbagai skenario perang, berapa korban yang akan jatuh dan kerugian yang ditimbulkan jika suatu senjata canggih seperti gelombang mikro ataupun nuklir digunakan. Mereka juga bisa berhitung tentang "keuntungan" perang dalam jangka panjang.

Andaikata diijinkan dipakai untuk sipil, sistem semacam ini sangat optimal untuk mempelajari pola bencana alam seperti banjir, gempa tsunami atau kebakaran hutan. Kapasitas komputasi sistem ini bisa membantu mengetahui dengan akurat, apa action yang tepat untuk misalnya mencegah banjir Jakarta: apa benar dengan reboisasi Puncak?; dengan kanal banjir senilai 15 trilyun?; dengan pompanisasi?; dengan pembersihan tepi Ciliwung dari pemukiman liar?; atau apa? Sayang sistem tadi justru dipakai untuk optimasi pembantaian umat manusia.

Perangkat ini dilengkapi sistem pakar (expert-system) yang akan membantu pengambilan keputusan. Bisa jadi keputusan kapan perang dimulai, atau suatu rudal diluncurkan, tidak di kepala George Walker Bush, apalagi PBB, melainkan pada sistem pendukung keputusan (decission support system), yang tentu hanya mesin pintar berkapasitas besar, tanpa nurani.
 
TI pada saat perang

Ketika perang, pasukan di garis depan akan dilengkapi alat GPS-telemetri, inframerah dan telematika. GPS akan memandu ke sasaran. Komando di belakang bisa memantau posisi dan kondisi pasukannya dari laptopnya. Kalau ada prajurit yang terluka atau tertangkap, posisinya langsung bisa diketahui.

Sementara itu alat inframerah berguna untuk melihat di kegelapan. Alat ini bisa mendeteksi manusia, yang tubuhnya memancarkan panas pada spektrum tertentu, meski bersembunyi di balik semak-semak atau dinding dengan ketebalan tertentu.

Mereka juga dilengkapi piranti telematika, yang akan memasok data-data terakhir ke front, baik dari satelit, atau analisis komputer atas data intelijen mutakhir. Agar jaringannya tidak disusupi hacker musuh, maka dilakukan enkripsi cryptografi yang sangat rumit.

Sementara itu senjata yang dipakai pun memiliki kandungan IT yang makin tinggi. Kini ada robot-robot mungil (dragon-runner) yang memiliki kecerdasan buatan (artificial intelligence). Robot ini bisa mengambil keputusan mandiri dan terus mengupdate diri dengan "pengalamannya". Ia dilengkapi kamera dan sejumlah sensor suara, panas atau bau. Dengan software pengenal pola, maka robot ini bisa mengenali musuh dan secara mandiri menyerangnya.

Sementara itu ada jenis robot lain yang dilengkapi bom dan piranti GPS. Bom itu diprogram untuk hanya meledak di lokasi yang koordinatnya ada pada daftar. Bom ini bisa juga dicurahkan dari "mother bomb" sebagai "bom satelit" atau diluncurkan sebagai "position guided missile" (PGM).

Jenis senjata lain adalah senjata radio yang bisa merebut kontrol atas piranti elektronik. Pesawat-pun bisa dibajak secara elektronik (electronic hijacked) - hal mana diduga kuat terjadi pada pesawat yang menabrak WTC 11 September 2001. Masih dengan radio adalah gangguan frekuensi (jamming) sehingga seluruh piranti telekomunikasi musuh terganggu.

Namun teknik jamming ini bisa pula digunakan musuh untuk melawan. Kalau ada ahli elektronik muslim yang mampu membuat pemancar yang kuat, bisa jadi pasukan AS yang dipandu GPS akan kehilangan arah, karena sistem GPS-nya ngaco. Karena itu pasukan AS juga dilengkapi sistem navigasi inersia (INS), yang tidak tergantung pada gelombang radio.

Artikel bersambung...  Silahkan baca selengkapnya di Lemjiantek

Selasa, 01 Juli 2014

Kemampuan Kapal Perang Indonesia


Rudal pertahanan anti-udara VL Mica MBDA

Jakarta - Menarik untuk dicermati kehadiran KRI Bung Tomo class dengan senjata yang diusungnya, diantaranya adalah rudal exocet MM 40 blok II dan rudal MBDA Mica. Rudal exocet merupakan salah satu rudal yang cukup legendaris dan terbukti battle proven. Beruntung kita memilikinya.

Dengan diadopsinya rudal VL Mica pada KRI Bung Tomo class, merupakan era baru SAM tipe VLS pada jajaran KRI kita, mengingat selama ini KRI kita dipertahankan dengan SAM tipe manual.

Seperti kita ketahui duel laut yang terjadi dalam konflik besar dunia mulai dari Perang Dunia sampai Perang Malvinas, Perang Teluk, dan lain-lain, tidak melulu melibatkan duel antar kapal perang, atau antar kapal perang dengan kapal selam saja, tapi juga melibatkan peran udara.
Seperti dalam Perang Malvinas, serangan Argentina terhadap Inggris didominasi dengan Pesawat tempur. Kala itu Argentina cukup sukses menenggelamkan beberapa kapal Inggris dengan pesawat tempurnya menggunakan rudal AM 39 Exocet.

Bagaimana kondisi KRI kita, seperti telah banyak diulas, memang kondisi KRI kita cukup miris dalam hal arsenal pertahanan udara. Dari 140-an KRI kita, saat ini perlindungan SAM tercanggih dimiliki oleh KRI Diponegoro class dengan SAM Mistral dengan jangkauan 5-6 km, hanya efektif untuk menghancurkn helikopter.

Cukup mnggembirakn dengan hadirnya SAM Mica, dengan tipe VLS-nya yang artinya memberikan perlindungan udara hingga 360 derajat dan jangkauan lebih jauh yaitu 25 km.
Meskipun sebenarnya adopsi SAM tipe VLS pada KRI kita cukup terlambat dibanding tetangga jiran kita Malaysia dan Singapura. Bahkan SaM VLS yang dimiliki Kapal Perang Singapura tipe Formidable lebih inferior dengan jangkauan 60 km.

Dari penjabaran tersebut, jika Kapal perang kita melayani duel kapal perang tentu masih bisa dijawab dengan Yakhont kita. Dengan jangkauan hingga 300 km, menjadikan angkatan laut kita mnjadi paling inferior di kawasan Asia Tenggara.


Tapi bila skenario perang yang terjadi harus melawan pesawat tempur yang menggotong rudal anti kapal jarak jauh dan dalam kondisi tanpa perlindungan Angkatan Udara, maka Kapal perang kita bisa menjadi bulan-bulanan. Apalgi banyak kapal perang kita tanpa perlindungan CIWS (close-in weapon system) yang merupakan tameng udara terakhir pada Kapal Perang.


Rheinmetall Millenium 35mm CIWS

Dengan muntahan peluru hingga 5000 butir/menit dan jangkauan maksimal hingga 8 km, CIWS cukup bisa diandalkan melawan rudal yang mendekat. Bahkan Rusia pun memasang hingga 4 CIWS pada frigate mereka. Tapi kalau yang dihadapi adalah rudal anti kapal canggih dengan kecepatan supersonic seperti Yakhont atau Brahmos, alamat mati tanpa bisa mengelak, karena rudal canggih sekelas Brahmos atau Yakhont diketahui mmiliki lintasan yang unik dan rumit sehingga sulit untuk ditangkal. Apalagi rencana akuisisi rudal brahmos tipe peluncuran udara pada Sukhoi Malaysia merupakann ancaman yang nyata pada Angkatan Laut kita.
Maka penting untuk kedaulatan NKRI perlu mnghadirkan arsenal terbaik. Mengingat geopolitik kawasan yang semakin hangat.

 ‘Jalesveva Jayamahe’, ‘Di Lautan Kita Jaya’.

 Salam.

(by: Runo_art)  (JKGR)



Mendesain Kapal Kini Lebih Mudah dan Murah dengan Maxsurf


Desain kapal dengan Maxsurf. (Foto: Avaxsearch)

Penulis: Andri Rezeki
Jakarta, JMOL ** Baru baru ini, sebuah produsen software, Bentley, mempromosikan produk software untuk desain kapal, bernama Maxsurf. Sebagai salah satu jenis dari banyak software untuk perancangan model kapal dan bangunan lepas pantai (offshore) secara umum.
Mengapa harus Maxsurf? Secara teknis, menggunakan Maxsurf lebih mudah dibandingkan menggunakan program software lain. Bentley mengklaim, penggunaan Maxsurf jauh lebih efektif karena terdapat perhitungan langsung volume lambung kapal pada komputer maupun laptop dengan resolusi rendah serta kapasitas yang kecil.
"Mendesain menggunakan Maxsurf terkait perhitungan volume lambung kapal, jauh lebih efektif, karena program ini telah dirancang sedemikian rupa, sehingga desainer kapal mudah menghitung kalkulasi apa saja yang dibutuhkan dalam perancangan kapal," ujar Philip Christensen, Bentley’s Vice President Offshore, kepada JMOL, beberapa waktu lalu, di Hotel Harris, Kelapa Gading, Jakarta Utara.
Ia menjelaskan, dalam perancangan desain kapal, dapat dihitung seluruh perhitungan tonase kapal, termasuk sistem-sistem yang ada di kapal.
Hal senada diungkapan Managing Director Caidmark, Assanah bin Mohd Mydin. Caidmark adalah perusahaan reseller software Bentley untuk Malaysia dan Indonesia.
“Sebenarnya, Maxsurf ini sebagai Windows untuk desain kapal. Dari segi harganya yang termurah sekali lah dari tipe software-software lainnya, dan mudah untuk digunakan,” ujar Assanah.
Ia mengklaim, banyak desainer kapal di Indonesia dan di Malaysia menggunakan Maxsurf. Jauh lebih efektif, terutama untuk perhitungan stabilitas kapal, sehingga Marxsurf menjadi pilihan yang tepat.
Dari segi harga, lanjut dia, perusahaannya akan memberikan potongan harga menarik. Siapa pun dapat menggunakan atau mencoba program Maxsurf selama 30 hari (trial) dan dapat langsung diunduh dari www.formsys.com atau www.caidmark.com.my
“Dari segi harga, misalnya, universitas bisa sewa US$ 1.000 dalam setahun, dan semua mahasiswa bisa menggunakan secara Cuma-cuma sepanjang mahasiswa itu belajar di universitas, dan dia juga bisa mengunduh. Tapi kalau umum, bisa mengunduh dari website dan menggunakanya dalam waktu 30 hari saja,” katanya.
Asssanah mengatakan, selain Maxsurf, ada software tambahan yang dapat digunakan desainer, yakni Moses, kelanjutan software untuk perhitungan hidrostatik kapal.
“Untuk tambahan software berupa Moses, sebagai advance untuk perhitungan hydrostatic,” pungkas Assanah.
Editor: Arif Giyanto

Menyimak F-16C/D Fighting Falcon Block 52ID baru TNI AU


JAKARTA:(DM) - F-16 Fighting Falcon Block 40 yang mendarat di satu pangkalan udara. TNI AU akan mendapat 24 pesawat terbang tempur paling laris ini, yang setara dengan Block 52+. Angkatan Udara Pakistan telah lebih dulu mendapatkan F-16C/D Block 52, yang dilengkapi tangki konformal. (fightercontrol.uk)

Gurun Sonora yang kering di perbatasan negara bagian Arizona dan Meksiko, menjadi lokasi yang cukup bersejarah bagi TNI AU saat enam penerbang tempur F-16 dari Skuadron Udara 3 tengah menjalani latihan konversi instruktur 24 F-16C/D Fighting Falcon Block 52ID yang akan dimiliki Indonesia dalam waktu dekat.

Keenam penerbang tempur itu telah tiba di Tucson, Arizona, pada 25 Juli lalu, untuk kemudian menjalani latihan konversi itu di Pangkalan Udara Hill (Hill AFB), Utah.

Mereka adalah Komandan Skadron Udara 3, Letnan Kolonel Penerbang Firman Foxhound Dwi Cahyono (40 th), Mayor Penerbang Anjar Beagle Legowo (38 th), Mayor Penerbang Bambang Bramble Apriyanto (34 th), Kapten Penerbang Pandu Hornet Eka Prayoga (31 th), Kapten Penerbang Anwar Weasel Sovie (30 th) dan Kapten Penerbang Bambang Sphynx Yudhistira (30 th).


Mereka semua menjadi aktor pelaku Proyek Bima Sena II, dengan sebagian misinya membawa pulang pada batch pertama ke-24 F-16 Block 52ID eks Angkatan Udara Penjaga Negara Amerika Serikat (US National Guard Air Force) semacam garda cadangan militer Amerika Serikat).

Rencananya, menurut Kepala Subdinas Penerangan Umum TNI AU, Kolonel Penerbang Agung Sharky Sasongkojati, mereka akan menerbangkan tiga pesawat tempur itu pada 15 Juli nanti.

"Jika semuanya lancar, mereka dijadualkan mendarat di landas pacu Pangkalan Udara Utama TNI AU Iswahyudi, Madiun, pada 20 Juli nanti. Mereka terbang fery dari Hill AFB (Utah)-Ellisen AFB (Alaska)-Andersen AFB (Guam), dan langsung ke Madiun. Karena ini penerbangan jarak jauh, mereka harus mengisi bahan bakar di udara beberapa kali," katanya.

Selama ini, Indonesia memiliki 12 F-16A/B Block 10/15 alias generasi perdana pada dasawarsa '80-an yang ditempatkan dalam Skuadron Udara 3. Dalam perjalanan waktu, dua di antara F-16 TNI AU itu jatuh dan dinyatakan total loss, alias hancur total, sehingga hanya 10 yang tersisa dan sepanjang waktu diterbangkan untuk misi latihan, patroli udara, kawal VVIP, dan lain sebagainya.

Mengakuisisi arsenal militer --sebagaimana pesawat tempur generasi terkini-- bukan hal mudah untuk diwujudkan. Katakanlah uangnya ada, belum tentu negara pemilik (teknologi) membolehkan negara lain memilikinya. Banyak hitung-hitungan non teknis apalagi politis yang turut campur; ini juga yang sempat terjadi pada Indonesia dan Amerika Serikat.

Pada periode kedua kepemimpinan Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, niat baik dari mereka atas kemajuan dan modernisasi arsenal dan peningkatan kapasitas SDM TNI (baca: juga TNI AU) semakin diwujudkan.

Salah satu bentuknya, Proyek Bima Sena II ini bisa diwujud nyatakan, dan batch pertama berupa tiga pesawat terbang F-16C/D Block 52ID ini akan segera mendarat di Tanah Air.

Apa perbedaan mendasar F-16A/B Block 10/15 OCU di Skuadron Udara 3 kini dengan yang akan datang nanti itu? "Ibaratnya mobil SUV yang umum dijumpai itu memiliki mesin 1.500 cc dengan konfigurasi standar, maka yang akan datang ini sudah diberi mesin lebih besar, semua sistemnya diganti dengan yang lebih baru dan canggih," kata Sharky.

Secara fisik dan dimensi, kata dia, F-16 baru eks Angkatan Udara Penjaga Negara Amerika Serikat itu sama saja dengan yang sekarang ada. Sama persis, bisa dibilang begitu.

"Yang berbeda, yang baru akan lebih gesit dan bertenaga karena mesinnya, Pratt & Whitney 220, lebih baik kinerjanya ketimbang PW 200 yang kini dipakai. Juga sistem operasi dan kendali komputer, semuanya diganti," katanya.

Peremajaan semua sistem di sekujur tubuh F-16C/D Block 52ID ini tengah dilakukan di Ogden Air Logistics Center, di Hill AFB, sementara mesin-mesin PW 220 ditingkatkan kinerjanya dan dikalibrasi ulang di fasilitas pabrik Pratt & Whitney di Old Kelly AFB, San Antonio, Texas.

Selama ini, Amerika Serikat memiliki lahan terbuka penyimpanan ribuan pesawat terbang tempur dari berbagai kelas, tipe, dan varian, di Davis Monthan AFB/309th AMARG (309th Aerospace Maintenance & Regeneration Group), Arizona.

Secara umum, ke-24 F-16C/D yang aslinya Block 25 itu sedang menjalani program The Common Configuration Implementation Program (CCIP) seperti yang dilakukan pada pesawat F-16 CD Blok 40/42 Angkatan Udara Amerika Serikat, agar menjadi Block 50/52.

Khusus untuk TNI AU, namanya menjadi Block 52ID (Indonesia), dengan penguatan struktur sesuai program Falcon STAR (Structural Augmentation Roadmap), sehingga usia airframe-nya bertambah menjadi 10.000 jam terbang alias sekitar 10 tahun lagi.

Dengan berbagai pertimbangan, "cara" untuk mengakuisisi F-16 serupa dan sekemampuan F-16 Block 52+ inilah yang ditempuh Indonesia. Diakui sejumlah sumber, sekitar 95 persen kemampuan dan unjuk kerja Block 52+ akan menempel di F-16 yang akan dibawa pulang Foxhound dan kawan-kawan itu.

Jika masa 10.000 jam terbang itu sudah habis, maka bisa diperpanjang lagi hingga 2.000 jam terbang lagi melalui Service Life Extension Program (SLEP) atau dua tahun lagi. Jadi secara teoritis dan keseluruhan, masa dinas F-16C/D Block 52ID akan habis pada 2026 atau 12 tahun lagi.

Peningkatan usia pakai mesin PW 220 juga akan begitu, setelah diganti semua komponen yang aus dan usang, maka usia pakai mesin bertambah 10.000 jam.

Sekedar informasi, F-16 Fighting Falcon termasuk primadona bagi para teknisi pesawat tempur karena sangat mudah merawatnya. Cuma kurang dari satu jam diperlukan mereka untuk mencopot atau meloloskan mesinnya secara utuh dari selongsong atau ruang mesinnya; memasangnya lagi juga sama saja!

Dengan airframe yang sama namun diberi mesin lebih kuat dan sistem avionika lebih canggih, maka ada keuntungan taktis dan strategis yang akan diraih.

"Lebih gesit dan cepat, itu sudah pasti. Tanpa tangki konformal mirip punuk di punggung fuselage, maka hambatan udara lebih kecil, sehingga meningkatkan kemampuannya untuk dog fight. Inilah salah satu yang sedang dilatihkan para penerbang kita di Hill AFB itu," kata Sharky.

Yang tidak kalah menarik, "mata" dan sistem penginderaan berupa radar F-16C/D Block 52ID ini juga diganti dengan yang lebih mumpuni untuk meladeni para lawan di udara.

Jadi, struktur rangka airframe sudah diperkuat, kabel-kabel dan soket-soket yang sudah diganti sehingga cocok dengan instrumen avionika dan persenjataan baru, dan lain sebagainya.

"Handling-nya sangat identik dengan F-16 kita selama ini," kata Sharky, yang sebelumnya juga penerbang tempur F-16 di Skuadron Udara 3 dengan 1.500 jam terbang itu.

Semua persenjataan yang dikeluarkan Amerika Serikat untuk dia bisa diterapkan, di antaranya peluru kendali udara-ke-udara jarak pendek AIM-9 Sidewinder P-4/L/M dan IRIS-T (NATO) serta peluru kendali udara-ke-udara jarak sedang AIM-120 AMRAAM-C.

Juga bom berpenuntun laser, joint direct attack munition (bom berbasis GPS), peluru kendali AGM-65 Maverick, peluru kendali udara-ke-permukaan (laut) AGM-84 Harpoon, rudal AGM-88 HARM (anti radar), hingga kanon Vulcan 20 milimeter.

Sekalipun dilengkapi pengacak frekuensi lawan, F-16C/D Block 52ID ini juga dilengkapi pod navigasi dan sistem target untuk malam hari dan sistem SEAD (Supression of Enemy Air Defence), sistem yang sangat vital dalam supremasi di udara.

Satu hal yang krusial adalah pancaran frekuensi komunikasi dari pilot dan komando operasi, sehingga dia dilengkapi juga dengan Modem Data (yang) Ditingkatkan (Improved Data Modem).

Para pilot tempur kita dimungkinkan terbang mengandalkan komunikasi data, bukan suara lagi; komunikasi antar pilot, pusat kendali operasi, sistem radar di darat, udara, dan laut, memakai data saja. Mirip dengan komunikasi ber-SMS atau BBM; kira-kira demikian.

Di balik itu semua, "otak" semua sistem itu adalah Mission Computer MMC- 7000A versi M-5 yang dipakai Block 52+. Dia tidak berdiri sendiri, karena terkait dengan Improved Data Modem Link 16 Block-52, Embedded GPS INS (EGI) Block-52 (gabungkan GPS dan Inertial Navigation System), AN/ALQ-213 Electronic Warfare Management System, dan ALR-69 Class IV Radar Warning Receiver.

Sistem pertahanan pasif didukung ALE-47 Countermeasures Dispenser Set untuk melepaskan chaff/flare pengecoh peluru kendali, sementara radar AN/APG-68 (V) ditingkatkan kinerjanya juga. Sistem pertahanan dini ini sangat krusial pada pertempuran cepat jarak pendek dan saling kejar di udara (dog fight).

Siapa yang lebih cepat dan pandai memanfaatkan kelengahan lawan, dia yang menang.

Antara

Indonesia Butuh 755 Kapal Perang, 4 Buah Kapal Induk, 22 Kapal Selam


ANALISIS:(DM) - Pengamat militer, Connie Rahakundini Bakrie, berpendapat, perlu ada koreksi mendalam tentang pendekatan penyusunan Minimum Essential Force (MEF).

Selama ini, ia menilai, pelaksanaan MEF hanya terfokus pada pendekatan anggaran yang tersedia, tidak didasarkan pada ancaman yang berkembang. Jika ini terus dilakukan, MEF tidak akan tercapai.

“Jika pengukuran MEF itu berdasarkan ancaman, artinya angkanya harus berubah tiap tahun. Ancaman kita 10 tahun lalu, ancaman kita 5 tahun lalu, dengan ancaman kita hari ini, kan sudah berubah,” ucap Connie.

Ia menjelaskan, dinamika ancaman kawasan saat ini sudah cukup kompleks. Oleh karenanya, penegasan terhadap paradigma outward looking TNI yang sudah dicetuskan sejak reformasi 1998, perlu segera diwujudkan, tidak sekadar wacana di atas kertas.

“Seperti ada ancaman ketika Tiongkok menetapkan kebijakan green water policy. Green water policy Tiongkok akan masuk sampai pada Selat Malaka. Dan blue water Tiongkok akan masuk sampai Samudera Hindia. Kalau kita mengukur MEF dari ancaman tersebut, seharusnya sudah berubah hitungan MEF dari Kemhan hari ini,” katanya.

Untuk matra laut, Connie berpandangan, Indonesia setidaknya memerlukan 755 kapal perang KRI, 4 buah kapal induk, dan 22 kapal selam. Kebutuhan ini untuk melindungi kepentingan Indonesia, minimum hingga 60 tahun mendatang.

“Visi MEF saya bagaimana melindungi kepentingan Indonesia minimum 60 tahun mendatang. Visi MEF hari ini itu per 10 tahun, susah. Itu cara perhitungannya berbeda,” cetus Connie.

Dia melihat kemunduran cara berpikir dalam paradigma pembangunan pertahanan Indonesia sekarang.

Salah satunya, masih dominannya orientasi pertahanan darat. Seharusnya, jika sejalan dengan doktrin outward looking military, arah penguatannya ada pada matra laut dan udara.

“Paradigma pertahanan kita juga terlalu berorientasi kepada daratan. Cara kita menetapkan ancaman kita juga dari darat. Kenapa kita tidak seperti zaman nenek moyang kita dahulu, seperti kerajaan Ternate dan Tidore misalnya? Mereka melihat ancaman itu dari laut. Makanya kenapa dulu kekuatan maritim kita bisa sampai ke Madagaskar. MEF kita zaman sekarang kalah dengan MEF kita zaman Tidore. Cara berpikir kita sekarang benar-benar mundur,” pungkasnya. 


Soal Sengketa Maritim



RUSSEL:(DM) - Pakta atau kesepakatan baru antara Indonesia dan Filipina untuk mengakhiri sengketa maritim secara damai diapresiasi Amerika Serikat (AS).

Pihak Washington pun minta agar China yang bersengketa dengan negara-negara ASEAN atas klaim Laut China Selatan bisa mencontoh apa yang dilakukan Indonensia dan Filipina.

Hal itu disampaikan Daniel Russel, diplomat AS untuk Asia Timur. Menurutnya, Presiden AS, Barack Obama mendorong Beijing untuk menahan perilaku mengintimidasi negara-negara lain dalam sengketa Laut China Selatan dan Laut China Timur.

AS minta China dan negara-negara ASEAN yang bersengketa bisa mengelola konflik dengan baik. ”Kami ingin negara-negara itu, termasuk China, untuk mengelola atau menyelesaikan sengketa klaim secara damai, melalui cara diplomatik,” kata Russel, seperti dikutip Philstar, Jumat (27/6/2014).

”Sebagai contoh, Filipina dan Indonesia baru saja melakukannya terkait (sengketa) batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka,” lanjut Russel.

Russel mengatakan, AS dan China merupakan kekuatan yang seimbang. Namun, persaingan strategis tidak ditandai dengan permusuhan. “Tapi persaingan yang adil dan sehat,” katanya.

Seperti diketahui, Indonesia dan Filipina telah membuat kesepakatan untuk mengakhiri sengketa perbatasan laut di wilayah Laut Sulawesi dan Laut Mindanao. Kesepakatan itu terjadi setelah kedua negara bersengketa soal batas ZEE selama 20 tahun.

Zona ekonomi eksklusif adalah batas wilayah laut sebuah negara sejauh 230 mil (370 kilometer) dari pantai sebuah negara. Di wilayah laut sejauh itulah, negara terkait berhak untuk mengeksploitasi ikan dan gas bawah laut dan minyak yang diatur di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.(mas)

Indonesia Di Konflik LCS 


Benarkah Indonesia tidak ada sangkut paut apa pun dengan konflik Laut China Selatan (LCS)? Persoalan yang muncul dari jawaban Joko Widodo (Jokowi) pada debat capres (22/6), hingga detik ini masih menjadi perdebatan.

Secara spesifik, pro-kontra terbagi menjadi dua, apakah Indonesia tidak menjadi bagian dari konflik tersebut dan apakah harus berdiam diri melihat potensi konflik di wilayah ini. Persoalan ini perlu mendapat perhatian karena bisa menjadi indikator untuk mengukur sejauh mana calon pemimpin Indonesia berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI dan memahami politik luar negeri.

Pembukaan UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan: kepentingan nasional Indonesia adalah menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa, serta ikut secara aktif dalam usaha perdamaian dunia.

Memaham konflik LCS memang tidak terlepas dari ambisi China membangkitkan kejayaan imperium masa lalu mereka. Kekuatan raksasa baru dunia tersebut mematok apa yang disebut China 9 dash line yang meliputi 90% area LCS.

Dalam konflik ini, seperti disampaikan Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak punya kepentingan langsung karena memang tidak pernah bergesekan secara fisik dengan China seperti ditunjukkan Filipina untuk memperebutkan Scarborough Shoal dan Spratly Islands atau Vietnam untuk dalam sengketa Spratly Islands dan Paracel Islands.

Kepulauan Indonesia pun tidak ada yang masuk dalam klaim tumpang tindih seperti dialami Malaysia dan Brunei Darussalam di Spratly Islands. Bahkan, Kemenlu Chinasudah menegaskan bahwa Beijing tidak memiliki perselisihan dengan Jakarta.

Namun, kita tidak bisa menutup fakta ada irisan di wilayah ZEE. Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel. Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik.

Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Apakah China tidak tertarik dengan kue yang demikian menggiurkan? Apakah klaim LCS sebatas romantisme historis, tidak bermuatan politis dan ekonomis.

Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. Karena itulah, seusai berkunjung ke Beijing, Agustus tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lantang mengatakan, ”Kami adalah negara yang berdaulat, kami akan melindungi wilayah kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan kami.

”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif. Sejauh ini, memang belum terlihat kasatmata akan pecah perang. Tapi lihatlah laporan IHS Jane,Asia-Pasifik adalah satu-satunya wilayah dunia yang pengeluaran militernya terus tumbuh sejak 2008.

Tentu saja salah satu hotspot-nya adalah kawasan LCS. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta bahkan sudah secara gamblang mengisyaratkan negaranya akan menggeser 60% kekuatan militernya ke Asia-Pasifik mulai 2012 hingga 2020.

Kini pangkalan AS sudah tersebar di Pulau Diego Garcia, Christmas, Cocos, Darwin, Guam, Filipina, dan sangat mungkin terus berputar hingga Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar. Bukankah posisi kita berada di tengahnya?

Adapun China sudah mendapat lampu hijau membangun pangkalan aju di Timor Leste untuk armada lautnya dan sudah menjajaki medan Samudra Hindia di selatan Jawa. Dengan anggaran militer sangat besar dan terus meningkat rata-rata di atas 11%—pada 2014 ini mencapai sekitar USD131.5 miliar— tidak heran negeri tersebut kini mengebut membuat satu destroyer per tiga bulan hingga terwujud 12 unit DDG kelas 052D dan menambah dua kapal induk lagi dalam enam tahun ke depan.

Langkah ini dilakukan sebagai persiapan operasi tempur jarak jauh dan penguatan logistik. Diperkirakan pada 2020, China menjadi raksasa sesungguhnya. Di sinilah Indonesia harus memainkan perannya mewujudkan politik luar negeri bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia.

Sebagai negara nonblok, sesepuh ASEAN, dan bemper di selatan LCS, Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa mencegah pecahnya perang yang konon bisa menjadi Perang Dunia III. Dengan demikian, presiden ke depan harus bisa juga menjadi pemimpin di level global. 


Sumber : Sindo