RUSSEL:(DM) -
Pakta atau kesepakatan baru antara Indonesia dan Filipina untuk mengakhiri
sengketa maritim secara damai diapresiasi Amerika Serikat (AS).
Pihak Washington pun minta agar China yang bersengketa dengan negara-negara ASEAN atas klaim Laut China Selatan bisa mencontoh apa yang dilakukan Indonensia dan Filipina.
Hal itu disampaikan Daniel Russel, diplomat AS untuk Asia Timur. Menurutnya, Presiden AS, Barack Obama mendorong Beijing untuk menahan perilaku mengintimidasi negara-negara lain dalam sengketa Laut China Selatan dan Laut China Timur.
AS minta China dan negara-negara ASEAN yang bersengketa bisa mengelola konflik dengan baik. ”Kami ingin negara-negara itu, termasuk China, untuk mengelola atau menyelesaikan sengketa klaim secara damai, melalui cara diplomatik,” kata Russel, seperti dikutip Philstar, Jumat (27/6/2014).
”Sebagai contoh, Filipina dan Indonesia baru saja melakukannya terkait (sengketa) batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka,” lanjut Russel.
Russel mengatakan, AS dan China merupakan kekuatan yang seimbang. Namun, persaingan strategis tidak ditandai dengan permusuhan. “Tapi persaingan yang adil dan sehat,” katanya.
Seperti diketahui, Indonesia dan Filipina telah membuat kesepakatan untuk mengakhiri sengketa perbatasan laut di wilayah Laut Sulawesi dan Laut Mindanao. Kesepakatan itu terjadi setelah kedua negara bersengketa soal batas ZEE selama 20 tahun.
Zona ekonomi eksklusif adalah batas wilayah laut sebuah negara sejauh 230 mil (370 kilometer) dari pantai sebuah negara. Di wilayah laut sejauh itulah, negara terkait berhak untuk mengeksploitasi ikan dan gas bawah laut dan minyak yang diatur di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.(mas)
Indonesia Di Konflik LCS
Pihak Washington pun minta agar China yang bersengketa dengan negara-negara ASEAN atas klaim Laut China Selatan bisa mencontoh apa yang dilakukan Indonensia dan Filipina.
Hal itu disampaikan Daniel Russel, diplomat AS untuk Asia Timur. Menurutnya, Presiden AS, Barack Obama mendorong Beijing untuk menahan perilaku mengintimidasi negara-negara lain dalam sengketa Laut China Selatan dan Laut China Timur.
AS minta China dan negara-negara ASEAN yang bersengketa bisa mengelola konflik dengan baik. ”Kami ingin negara-negara itu, termasuk China, untuk mengelola atau menyelesaikan sengketa klaim secara damai, melalui cara diplomatik,” kata Russel, seperti dikutip Philstar, Jumat (27/6/2014).
”Sebagai contoh, Filipina dan Indonesia baru saja melakukannya terkait (sengketa) batas zona ekonomi eksklusif (ZEE) mereka,” lanjut Russel.
Russel mengatakan, AS dan China merupakan kekuatan yang seimbang. Namun, persaingan strategis tidak ditandai dengan permusuhan. “Tapi persaingan yang adil dan sehat,” katanya.
Seperti diketahui, Indonesia dan Filipina telah membuat kesepakatan untuk mengakhiri sengketa perbatasan laut di wilayah Laut Sulawesi dan Laut Mindanao. Kesepakatan itu terjadi setelah kedua negara bersengketa soal batas ZEE selama 20 tahun.
Zona ekonomi eksklusif adalah batas wilayah laut sebuah negara sejauh 230 mil (370 kilometer) dari pantai sebuah negara. Di wilayah laut sejauh itulah, negara terkait berhak untuk mengeksploitasi ikan dan gas bawah laut dan minyak yang diatur di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut.(mas)
Indonesia Di Konflik LCS
Benarkah
Indonesia tidak ada sangkut paut apa pun dengan konflik Laut China Selatan
(LCS)? Persoalan yang muncul dari jawaban Joko Widodo (Jokowi) pada debat
capres (22/6), hingga detik ini masih menjadi perdebatan.
Secara spesifik, pro-kontra terbagi menjadi dua, apakah Indonesia tidak menjadi bagian dari konflik tersebut dan apakah harus berdiam diri melihat potensi konflik di wilayah ini. Persoalan ini perlu mendapat perhatian karena bisa menjadi indikator untuk mengukur sejauh mana calon pemimpin Indonesia berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI dan memahami politik luar negeri.
Pembukaan UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan: kepentingan nasional Indonesia adalah menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa, serta ikut secara aktif dalam usaha perdamaian dunia.
Memaham konflik LCS memang tidak terlepas dari ambisi China membangkitkan kejayaan imperium masa lalu mereka. Kekuatan raksasa baru dunia tersebut mematok apa yang disebut China 9 dash line yang meliputi 90% area LCS.
Dalam konflik ini, seperti disampaikan Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak punya kepentingan langsung karena memang tidak pernah bergesekan secara fisik dengan China seperti ditunjukkan Filipina untuk memperebutkan Scarborough Shoal dan Spratly Islands atau Vietnam untuk dalam sengketa Spratly Islands dan Paracel Islands.
Kepulauan Indonesia pun tidak ada yang masuk dalam klaim tumpang tindih seperti dialami Malaysia dan Brunei Darussalam di Spratly Islands. Bahkan, Kemenlu Chinasudah menegaskan bahwa Beijing tidak memiliki perselisihan dengan Jakarta.
Namun, kita tidak bisa menutup fakta ada irisan di wilayah ZEE. Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel. Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik.
Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Apakah China tidak tertarik dengan kue yang demikian menggiurkan? Apakah klaim LCS sebatas romantisme historis, tidak bermuatan politis dan ekonomis.
Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. Karena itulah, seusai berkunjung ke Beijing, Agustus tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lantang mengatakan, ”Kami adalah negara yang berdaulat, kami akan melindungi wilayah kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan kami.
”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif. Sejauh ini, memang belum terlihat kasatmata akan pecah perang. Tapi lihatlah laporan IHS Jane,Asia-Pasifik adalah satu-satunya wilayah dunia yang pengeluaran militernya terus tumbuh sejak 2008.
Tentu saja salah satu hotspot-nya adalah kawasan LCS. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta bahkan sudah secara gamblang mengisyaratkan negaranya akan menggeser 60% kekuatan militernya ke Asia-Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Kini pangkalan AS sudah tersebar di Pulau Diego Garcia, Christmas, Cocos, Darwin, Guam, Filipina, dan sangat mungkin terus berputar hingga Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar. Bukankah posisi kita berada di tengahnya?
Adapun China sudah mendapat lampu hijau membangun pangkalan aju di Timor Leste untuk armada lautnya dan sudah menjajaki medan Samudra Hindia di selatan Jawa. Dengan anggaran militer sangat besar dan terus meningkat rata-rata di atas 11%—pada 2014 ini mencapai sekitar USD131.5 miliar— tidak heran negeri tersebut kini mengebut membuat satu destroyer per tiga bulan hingga terwujud 12 unit DDG kelas 052D dan menambah dua kapal induk lagi dalam enam tahun ke depan.
Langkah ini dilakukan sebagai persiapan operasi tempur jarak jauh dan penguatan logistik. Diperkirakan pada 2020, China menjadi raksasa sesungguhnya. Di sinilah Indonesia harus memainkan perannya mewujudkan politik luar negeri bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia.
Sebagai negara nonblok, sesepuh ASEAN, dan bemper di selatan LCS, Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa mencegah pecahnya perang yang konon bisa menjadi Perang Dunia III. Dengan demikian, presiden ke depan harus bisa juga menjadi pemimpin di level global.
Secara spesifik, pro-kontra terbagi menjadi dua, apakah Indonesia tidak menjadi bagian dari konflik tersebut dan apakah harus berdiam diri melihat potensi konflik di wilayah ini. Persoalan ini perlu mendapat perhatian karena bisa menjadi indikator untuk mengukur sejauh mana calon pemimpin Indonesia berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI dan memahami politik luar negeri.
Pembukaan UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan: kepentingan nasional Indonesia adalah menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa, serta ikut secara aktif dalam usaha perdamaian dunia.
Memaham konflik LCS memang tidak terlepas dari ambisi China membangkitkan kejayaan imperium masa lalu mereka. Kekuatan raksasa baru dunia tersebut mematok apa yang disebut China 9 dash line yang meliputi 90% area LCS.
Dalam konflik ini, seperti disampaikan Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak punya kepentingan langsung karena memang tidak pernah bergesekan secara fisik dengan China seperti ditunjukkan Filipina untuk memperebutkan Scarborough Shoal dan Spratly Islands atau Vietnam untuk dalam sengketa Spratly Islands dan Paracel Islands.
Kepulauan Indonesia pun tidak ada yang masuk dalam klaim tumpang tindih seperti dialami Malaysia dan Brunei Darussalam di Spratly Islands. Bahkan, Kemenlu Chinasudah menegaskan bahwa Beijing tidak memiliki perselisihan dengan Jakarta.
Namun, kita tidak bisa menutup fakta ada irisan di wilayah ZEE. Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel. Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik.
Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Apakah China tidak tertarik dengan kue yang demikian menggiurkan? Apakah klaim LCS sebatas romantisme historis, tidak bermuatan politis dan ekonomis.
Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. Karena itulah, seusai berkunjung ke Beijing, Agustus tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldoko secara lantang mengatakan, ”Kami adalah negara yang berdaulat, kami akan melindungi wilayah kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan kami.
”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif. Sejauh ini, memang belum terlihat kasatmata akan pecah perang. Tapi lihatlah laporan IHS Jane,Asia-Pasifik adalah satu-satunya wilayah dunia yang pengeluaran militernya terus tumbuh sejak 2008.
Tentu saja salah satu hotspot-nya adalah kawasan LCS. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta bahkan sudah secara gamblang mengisyaratkan negaranya akan menggeser 60% kekuatan militernya ke Asia-Pasifik mulai 2012 hingga 2020.
Kini pangkalan AS sudah tersebar di Pulau Diego Garcia, Christmas, Cocos, Darwin, Guam, Filipina, dan sangat mungkin terus berputar hingga Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar. Bukankah posisi kita berada di tengahnya?
Adapun China sudah mendapat lampu hijau membangun pangkalan aju di Timor Leste untuk armada lautnya dan sudah menjajaki medan Samudra Hindia di selatan Jawa. Dengan anggaran militer sangat besar dan terus meningkat rata-rata di atas 11%—pada 2014 ini mencapai sekitar USD131.5 miliar— tidak heran negeri tersebut kini mengebut membuat satu destroyer per tiga bulan hingga terwujud 12 unit DDG kelas 052D dan menambah dua kapal induk lagi dalam enam tahun ke depan.
Langkah ini dilakukan sebagai persiapan operasi tempur jarak jauh dan penguatan logistik. Diperkirakan pada 2020, China menjadi raksasa sesungguhnya. Di sinilah Indonesia harus memainkan perannya mewujudkan politik luar negeri bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia.
Sebagai negara nonblok, sesepuh ASEAN, dan bemper di selatan LCS, Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa mencegah pecahnya perang yang konon bisa menjadi Perang Dunia III. Dengan demikian, presiden ke depan harus bisa juga menjadi pemimpin di level global.
Sumber
: Sindo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar