Dari beragam alutsista TNI,
harus diakui jet tempur Su-27SKM dan Su-30MK2 Flanker Skadron 11 TNI AU adalah
yang paling banyak membetot perhatian khalayak di Tanah Air. Selain punya sosok
garang dan perkasa, pesawat dua mesin besutan Rusia ini seolah menjadi ‘pelipur
lara’ bagi masyarakat pemerhati persenjataan, betapa tidak, dengan mengadopsi
Sukhoi Su-27/Su-30 armada jet tempur TNI AU kini mampu mengimbangi keunggulan
fighter negara tetangga, khususnya F-15SG
Strike Eagle AU Singapura dan F/A-18 Super Hornet AU Australia. Lewat
manuver Kobra Pugacev, Sukhoi menjadi kebanggaan tersendiri dalam setiap
simulasi duel jarak dekat.
Dari sisi kejenjataan, lewat
Sukhoi-lah Indonesia untuk pertama kalinya terlihat tegas untuk mempersenjatai
jet tempur. Maklum pasca era-60an, segala jenis jet tempur TNI AU yang dibeli
dari AS dan Inggris, hanya dibekali persenjataan terbatas yang serba nanggung
dan tak punya efek deteren memadai. Kita bisa lihat bersama, bagaimana TNI AU
selama tiga dekade hanya bersandar pada rudal Sidewinder untuk melengkapi F-5
E/F Tiger, F-16 Fighting Falcon, dan Hawk 100/200. Sementara dilini rudal
udara ke permukaan, sejak lama TNI AU pun hanya berkutat pada AGM-65 Maverick.
Namun, haluan strategi
pertahanan kini telah berubah. Meski perang selalu didengungkan sebagai jalan
akhir dari suatu krisis, tapi sudah menjadi amanat bahwa bila perang itu
terjadi, maka perang harus dimenangkan. Dalam konteks 16 jet Sukhoi di armada
TNI AU, muncul rasa gemas di publik, pasalnya sejak didatangkan bergelombang
pada tahun 2003, nyatanya baru pada periode tahun 2012 – 2013, jet yang
dijuluki Sky Demon ini mulai dipersenjatai sista rudal R-73, R-77, Kh-29TE,
dan Kh-31P. Setelah
sebelumnya, Sukhoi di angkasa Indonesia hanya wara wiri mengandalkan kanon GSh-30-1 dan bom buatan lokal.
Dan, kini akhirnya
lengkaplah sudah Skadron 11 Wing 5 di Lanud Hananuddin, Makassar dengan jumlah
16 unit Su-27SKM dan Su-30MK2.
Bahkan dengan dukungan tanker KC-130B
Hercules Skadron 32,air coverage Sukhoi menjadi begitu luas dalam
melindungi ruang udara NKRI. Semoga kepak sayap Sukhoi selalu menjadi ‘mimpi
buruk’ bagi para agresor.
Pesawat tempur Sukhoi TNI AU lengkap sudah satu
skadron (16 unit), setelah datangnya dua pesawat SU-30 MK 2 pada
awal bulan September 2013. Skadron Udara 11 Wing 5 Lanud Sultan
Hasanuddin, Makassar – Sulawesi Selatan, merupakan home base bagi pesawat
tempur SU-27 SKM dan SU-30 MK 2 Indonesia.
Wakil Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoedin menyatakan
kelengkapan skadron Sukhoi (16 pesawat) ditargetkan pada tahun 2014. Namun
pengadaan alutsista 11 itu bisa dilengkapi dalam waktu yang lebih cepat di
tahun 2013. Untuk itu program Kementerian Pertahanan selanjutnya adalah
mendatangkan simulator pesawat tempur Sukhoi, serta dukungan konstruksi sistem
yang bisa mengcover seluruh pesawat Sukhoi, pada tahun 2014. Hal ini
disampaikan Wamenhan, saat mengunjungi Skadron 11 di Lanud Sultan Hasanuddin,
Makassar.
“Mesin simulator untuk melatih kemampuan para pilot
penerbang tempur. Nantinya tidak perlu lagi mengirimkan pilot tempur keluar
negeri untuk melatih skill teknis mereka. Tetapi jika simulator ini belum
sampai tahun 2014, untuk sementara para pilot dikirim ke negara yang memiliki
fasilitas simulator, seperti China yang telah memiliki kerjasama pertahanan
Indonesia”, ujar Wakil Menteri Pertahanan.
Rudal Kh-31P Zvezda
Kejutan lain dari penambahan alutsista Skadron Udara 11
adalah telah terpasangnya rudal-rudal untuk pesawat tempur Sukhoi, antara lain
Rudal Zvezda
Kh-31P atau istlah NATO AS-17 Krypton. Rudal Krypton buatan Rusia ini
dilengkapi sensor hybrid active-pasive guidance untuk menyergap sasaran darat
maupun udara seperti, sistem pertahanan musuh atau pesawat mata-mata
seperti AWACS, dari jarak 200 km. Rudal anti-radar ini bisa
mematikan penjejaknya saat diserang.
Komponen paling menarik dari rudal Kh-31P adalah adanya
kombinasi 5 roket, booster dan ramjet, yang dipadukan dalam dual roket
pendorong (sistem propulsi ganda). Bentuknya mirip wahana antariksa Rusia, karena
memang didisain oleh biro disain Soyuz di Turayevo.
Pada tahap awal misil ini berakselerasi menggunakan
solid-fuel rocket engine, untuk mendapatkan kecepatan 1,8 Mach. Setelah itu
mesin pendorong pertama dilepas, digantikan 4 mesin jet pendorong, untuk
mencapai kecepatan 5 Mach. Kecepatan tinggi ini berguna untuk mengurangi resiko
tertembak, termasuk harus menerobos sistem pertahanan musuh untuk menghancurkan
radar penjejak, drone maupun pesawat AWACS.
Karena rudal ini ditugaskan menghancurkan radar musuh
atau pesawat AWACS, rudal Kh-31P tidak dibebani hulu ledak besar, melainkan
hanya 90 Kg (Blast Frag). Rudal AS-17 Krypton memiliki panjang 5, 2 meter
dengan berat 600 kg dan dijuliki negara barat dengan nama “AWACS
killer”.(JKGR).
GSh-30-1 30mm: Kanon Sukhoi TNI AU – Minim Amunisi Tapi
Punya Presisi Tinggi
Posted on 23/05/2014 | 4
Komentar
Tidak sah rasanya bila jet fighter dengan kualifikasi multirole dan air
superiority hadir tanpa senjata internal. Meski konsep peperangan di udara
masa kini dan di masa mendatang mengedepankan pada keunggulan rudal lintas
cakrawala alias BVRAAM (beyond visual air to air missile), namun paduan sista
untuk menghadapi duel jarak dekat (dog fight) tak bisa dihapuskan, ini
dibuktikan dengan masih larisnya segmen rudal udara ke udara jarak pendek dan
menengah.
Menemani peran rudal udara ke udara (AAM/air to air missile)
jarak pendek, sudah mahfum pula keberadaan dari kanon sebagai senjata internal
di pesawat tempur. Bicara tentang jet Sukhoi Su-27/Su-30 yang
dimiliki TNI AU, kanon internal inilah yang menjadi satu-satunya senjata dari
Sukhoi Indonesia yang mampu menggetarkan dalam patroli udara. Hal tersebut
harus dipahami, sebab setelah 10 tahun dibeli, armada Sukhoi Skadron 11 TNI AU
baru dibekali rudal mulai tahun 2012, yakni AAM jenis R-73, R-77,
dan rudal udara ke permukaan (ASM/air to surface missile) jenis Kh-31P dan Kh-29TE.
Selama periode 2003 hingga 2012, praktis Sukhoi TNI AU
hanya mengandalkan kanon internal dan bom P-100 buatan Dalam Negeri.
Nah, bicara tentang kanon yang melekat di Sky Demon ini, tak lain
adalah GSh-30-1 kaliber 30 mm. Merujuk ke sejarahnya, kanon laras tunggal ini
dirancang oleh A. Gryazev dan A. Shipunov pada tahun 1977 dan diproduksi oleh
Izhmash JSC, Rusia. Sebagai peninggalan era Uni Soviet, kanon ini mulai resmi
diadopsi oleh jet tempur Soviet sejak 1980 hingga kini.
GSh-30-1 pada Sukhoi Su-27. Terletak disisi kanan body.
Cara kerja kanon ini masih terbilang konvensional, yakni
menggunakan pola hentakan (recoil). Bobot kanon, belum termasuk amunisinya,
yaitu 46 kg. Dari sisi kinerja, GSh-30-1 secara teori dapat memuntahkan hingga
1.800 proyektil dalam satu menit. Namun, dalam pelaksanaannya, kecepatan tembak (rate
of fire) diturunkan untuk mengurangi efek panas berlebih pada laras, menjadi
1.500 proyetil per menitnya. Meski bisa memuntahkan ribuan proyektil per menit,
faktanya logam pada laras dapat mengalami tekanan tinggi akibat panas berlebih
bila dilakukan penembakan secara terus menerus antara 100 – 150 peluru. Pihak
pabrikan pun memang menggariskan waktu singkat untuk usia laras, setiap
melampaui 2.000 tembakan, laras harus diganti untuk menjaga keamanan dan
presisi. Laras sejatinya dapat cepat dingin seiring derasnya aliran angin di
body pesawat, tapi GSh-30-1 juga dibekali pendingin air berupa silinder yang
ditempatkan pada pangkal laras.
Amunisi kaliber 30 mm GSh-30-1
MiG-29 milik AU Iran tampak sedang menembakan kanon
GSh-30-1.
Bicara soal penggantian laras, kanon PSU (penangkis
serangan udara) Type 80
Giant Bow 20 mm Arhanud TNI AD, lebih cepat lagi. Secara prosedur, setiap
200 tembakan laras harus diganti. Kebetulan memang laras dirancang untuk bisan
diganti secara cepat. Kabarnya, setiap kali latihan minimal harus disiapkan
empat laras pengganti. karena kecepatan tembak yang tinggi, membuat laras cepat
panas, ) Type 80 Giant Bow bisa memuntahkan 1.500 – 2.000 proyektil dalam satu
menit.
Kembali ke kanon Sukhoi GSh-30-1, kecepatan luncur
proyektil mencapai 860 meter per detik. Sementara yang jadi ‘tantangan’ justru
dari bekal amunisi yang dibawa, terbilang sedikit, yaitu 150 peluru dalam satu
drum magasin. Minimnya amunisi yang dibawa bukan hanya terjadi pada Sukhoi
Su-27/Su-30, melainkan juga pada MiG-29 Fulcrum yang turut memakai GSh-30-1.
Rusia pun menyadari akan ‘kelemahan’ pada minimnya jumlah peluru, untuk itu
disiasati dengan hadirnya perangkat penjejak
optik berbasis thermal OEPS-27.
OEPS-27 mudah dikenali pada jet tempur Sukhoi
Su-27/Su-30. Letak perangkat ini berada di bagian hidung, namun agak mendekat
kokpit, dan bentuknya cukup unik dengan desain bola kaca. Perangkat ini terdiri
dari dua bagian. Pertama disebut sebagai pengukur jarak bersistem laser (laser
range finder) dengan kemampuan pengenalan target hingga delapan kilometer.
Kemudian masih dalam bola kaca juga ada IRST (infra red search and track system),
dimana sistem ini dapat menjangkau jarak hingga 50 kilometer. Soal cakupan (coverage),
untuk sudut azimuth mulai dari -60 sampai +60 derajat, sementara sudut
ketinggian mulai dari -60 sampai 15 derajat. Dengan dukungan OEPS-27 inilah,
pihak pabrikan Sukhoi merasa percaya diri menjajakan jet tempur ini, apalagi
dengan kombinasi sensor infra merah dan laser, menjadikan Sukhoi mumpuni dalam
membidik, alias presisi tembakan sangat tinggi. Bagaimana tentang jarak tembak?
Untuk menghajar target di udara, jarak tembak efektinya antara 200 – 800 meter.
Sementara untuk misi melibas target di permukaan, jarak tembaknya bisa mencapai
1.200 – 1.800 meter.
Dari hasil polling Indomiliter.com pada tanggal 3 – 13 Oktober 2013, dapat disimpulkan bahwa lawan terberat Sukhoi Su-27/Su-30 TNI AU adalah F-15SG Strike Eagle milik RSAF (AU Singapura). Lawan tanding kedua terberat, kemudian ditempati oleh F/A-18 Super Hornet RAAF (AU Australia). Boleh jadi, dimasa mendatang, kedua jet inilah yang akan menjadi kawan ‘dog fight’ Sukhoi TNI AU. Dan, bila itu benar adanya, maka GSh-30-1 akan berjumpa dengan kanon internal F-15SG dan F/A-18, yaitu Vulcan M61 kaliber 20 mm.
Meski kalibernya lebih kecil dari GSh-30-1, tapi jangan
anggap enteng kanon yang juga terpasang di F-16 Fighting Falcon ini. Vulcan M61
mengadopsi model gatling dengan enam laras putar. Selain unggul dalam mengurai
panas pada laras, Vulcan M61A1 dapat memuntahkan 4.000 hingga 6.000 proyektil
dalam satu menit. Kecepatan luncur proyektilnya 1.050 meter per detik,
sementara untuk jarang tembak efektifnya antara 1.500 – 2.000 meter. Untuk
urusan amunisi, dengan model magasin drum, dapat dibawa hingga 511 peluru.
Karena punya enam laras, beratnya pun mencapai 112 kg, belum termasuk feed
system-nya.
Meski dalam banyak parameter Vulcan M61 lebih unggul,
tapi GSh-30-1 tampil dengan beragam tipe amunisi, seperti Armour Piercing
Tracer (AP-T), Armour Piercing Incendiary Tracer (API-T), Armour Piercing
Tracer, Tungsten Alloy Penetrator (APT-T), Inert Armour Piercing (AP Inert),
High Explosive Tracer (HE-T), Short Range High Explosive Tracer (HE-T-SR),
Inert High Explosive Tracer (HE-T Inert), High Explosive Incendiary (HEI), High
Explosive Incendiary Tracer (HEI-T), Target Practice (RTP), dan Target Practice
Tracer (RTP-T). (Gilang Perdana)
Spesifikasi GSh-30-1
Manufaktur : Izhmash JSC
Kaliber : 30 mm
Berat : 46 kg
Cartridge : 30×165 mm
Jumlah laras : 1
Kecepatan tembak : 1.500 – 1.800 proyektil/menit
Kecepatan proyektil : 860 meter/detik
Jarak Tembak : 1.800 meter
Manufaktur : Izhmash JSC
Kaliber : 30 mm
Berat : 46 kg
Cartridge : 30×165 mm
Jumlah laras : 1
Kecepatan tembak : 1.500 – 1.800 proyektil/menit
Kecepatan proyektil : 860 meter/detik
Jarak Tembak : 1.800 meter
Tidak ada komentar:
Posting Komentar