GEOPOLITIK KAWASAN ASIA TENGGARA:
PERSPEKTIF MARITIM
PERSPEKTIF MARITIM
Oleh: Dr. Susilo Bambang Yudhoyono
A whole history of power or
knowledge remains to be written of spaces, which would at same time be a
history of powers, from the great strategies of the geopolitics to the little
tactics of the habitats (Foucault, 1972).
1. Pendahuluan
Kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan daripada daratan. Situasi demikian berimplikasi pada lebih dominannya isu-isu politik dan keamanan yang terkait dengan domain maritim daripada isu-isu lainnya. Dari sembilan choke points strategis dunia, empat di antaranya berada di kawasan ini. Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan apabila menyimpulkan bahwa geopolitik kawasan akan terkait pula dengan domain maritim.
Kawasan Asia Tenggara merupakan wilayah yang didominasi oleh perairan daripada daratan. Situasi demikian berimplikasi pada lebih dominannya isu-isu politik dan keamanan yang terkait dengan domain maritim daripada isu-isu lainnya. Dari sembilan choke points strategis dunia, empat di antaranya berada di kawasan ini. Dengan demikian, bukan suatu hal yang berlebihan apabila menyimpulkan bahwa geopolitik kawasan akan terkait pula dengan domain maritim.
Mendiskusikan geopolitik
kawasan Asia Tenggara tidak bisa mengabaikan Indonesia, sebab dua pertiga
kawasan Asia Tenggara adalah wilayah kedaulatan Indonesia. Selain itu, dua
pertiga perairan Asia Tenggara merupakan perairan yurisdiksi Indonesia.
Bertolak dari keadaan tersebut, Indonesia dahulu, kini dan ke depan akan selalu
memainkan peran sentral dan strategis dalam stabilitas keamanan kawasan.
Karena strategisnya domain
maritim dalam geopolitik kawasan, Indonesia hendaknya senantiasa selalu
mengikuti dinamika yang terjadi pada domain tersebut. Terkait dengan hal
tersebut, tulisan ini akan mengupas tentang geopolitik kawasan Asia Tenggara
dari perspektif maritim dan implikasinya terhadap Indonesia.
2. Geopolitik Kontemporer
Dalam pemikiran geopolitik, tercipta interaksi antara ruang dengan manusia yang melahirkan kesadaran ruang (space consciousness). Kesadaran itu baik langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan.
Dalam pemikiran geopolitik, tercipta interaksi antara ruang dengan manusia yang melahirkan kesadaran ruang (space consciousness). Kesadaran itu baik langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara (boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan kedaulatan.
Mengacu pada teori
geopolitik, geopolitik mengandung empat dasar utama yaitu konsepsi ruang,
konsepsi frontier, konsepsi kekuatan politik dan konsepsi keamanan bangsa (1). Ruang
merupakan inti dari geopolitik, sehingga senantiasa ada upaya untuk memperluas
wilayah pengaruh tiap-tiap bangsa yang jauh melampaui wilayah kedaulatannya.
Menurut Friederich
Ratzel, seorang ahli geopolitik Jerman, negara sebagai suatu kesatuan antara
rakyat dengan tanahnya, adalah organisasi yang tumbuh sebagaimana organisasi
lainnya, perbatasan sifatnya dinamis dan berubah-ubah, sebagai cermin
sifat-sifat ekspansionis negara-negara yang agresif (2). Oleh karena itu,
lanjut Ratzel, apabila terjadi kemunduran dalam konsepsi ruang, maka dapat
mengakibatkan runtuhnya suatu bangsa dan negara. Teori Ratzel ini dikenal
sebagai teori lebensraum (ruang hidup).
Teori lebensraum selanjutnya
dikembangkan oleh Karl Haushofer. Menurut Haushofer, ruang (raum) merupakan
wadah dinamika politik dan militer. Penguasaan ruang atau ruang pengaruh
(sphere of influence), menurut Haushofer, merupakan satu fenomena spasial itu
sendiri, di mana jika ruang pengaruh diperluas, maka akan ada yang diuntungkan
dan ada yang dirugikan (3).
Meskipun di masa kini teori
lebensraum tidak sepenuhnya valid bila dikaitkan dengan tatanan internasional
pasca Perang Dingin, namun tidak berarti teori itu tidak berlaku lagi. Tataran
internasional pasca Perang Dingin tidak bebas dari perebutan ruang pengaruh
oleh masing-masing negara, karena kini perebutan ruang pengaruh tetap terjadi
meskipun caranya berbeda dengan masa sebelumnya, misalnya melalui globalisasi.
Di era globalisasi dengan
ekonomi pasar bebas dan teknologi informasi sebagai pilarnya, batas-batas non
fisik antar negara bangsa menjadi kabur. Namun demikian era globalisasi tidak
dapat menghilangkan sepenuhnya nasionalisme dan patriotisme setiap bangsa, yang
dapat dilihat dari adanya kecenderungan proteksi pasar oleh negara-negara maju
terhadap produk dari negara-negara berkembang. Apapun alasan proteksi pasar
itu, namun tidak lepas dari kepentingan nasional negara-negara tersebut,
khususnya di bidang ekonomi.
Dikaitkan dengan
globalisasi, peran domain maritim sangat vital karena lebih dari 90 persen
perdagangan dunia melintasi lautan. Tidak berlebihan bila Sam J. Tangredi
menyatakan bahwa globalisasi dimulai dari laut (4). Karena sangat strategisnya
laut, maka keamanan maritim kini menjadi salah satu isu keamanan secara global
dan menjadi perhatian semua pihak yang berkepentingan, baik aktor negara maupun
non negara. Aktor non negara yang dimaksud seperti industri pelayaran, industri
asuransi, industri perbankan dan beragam industri lainnya yang secara langsung
atau tidak langsung terkait dengan keamanan maritim dalam distribusi produknya.
Geopolitik kontemporer
dewasa ini diwarnai oleh persaingan dan sekaligus kerjasama antar bangsa di
bidang politik, ekonomi dan militer. Domain maritim merupakan salah satu wadah
persaingan sekaligus kerjasama antar bangsa. Isu-isu keamanan maritim dan
keamanan energi mewarnai geopolitik kontemporer. Keamanan maritim dan keamanan
energi bagaikan dua sisi dari koin yang sama di mana satu sama lainnya tidak
bisa dipisahkan. Hal ini bisa dilihat dari banyaknya negara yang menekankan isu
keamanan maritim sebagai bagian dari kepentingan nasional, demikian pula dengan
isu keamanan energi.
Sengketa pada domain maritim
seperti di Laut Cina Selatan merupakan persinggungan antara keamanan maritim
dan keamanan energi. Makin langkanya sumber energi di wilayah daratan mendorong
banyak negara untuk mengeksplorasi dan eksploitasi energi di wilayah lautan.
Hal itu seringkali memunculkan sengketa dengan negara lain khususnya pada
wilayah perairan yang batas-batas definitifnya baik laut teritorial, zona
tambahan maupun zona ekonomi eksklusif (ZEE) belum disepakati bersama.
3. Lanskap Geopolitik
Kawasan
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara selalu dipengaruhi oleh interaksi negara-negara Asia Tenggara maupun peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan. Walaupun negara-negara Asia Tenggara kini semuanya telah terhimpun dalam ASEAN sebagaimana impian para pendiri ASEAN pada 6 Agustus 1967, akan tetapi peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan seperti Amerika Serikat, Australia, India, Jepang dan Cina tidak bisa diabaikan pula. Merupakan hal yang logis bila ASEAN merangkul kekuatan-kekuatan itu menjadi mitra wicara dalam wadah ASEAN Regional Forum (ARF).
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara selalu dipengaruhi oleh interaksi negara-negara Asia Tenggara maupun peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan. Walaupun negara-negara Asia Tenggara kini semuanya telah terhimpun dalam ASEAN sebagaimana impian para pendiri ASEAN pada 6 Agustus 1967, akan tetapi peran dan pengaruh kekuatan ekstra kawasan seperti Amerika Serikat, Australia, India, Jepang dan Cina tidak bisa diabaikan pula. Merupakan hal yang logis bila ASEAN merangkul kekuatan-kekuatan itu menjadi mitra wicara dalam wadah ASEAN Regional Forum (ARF).
Lanskap geopolitik kawasan
Asia Tenggara apabila digambarkan cukup kompleks, karena melibatkan banyak
aktor yang mana antar tiap aktor seringkali kepentingannya tidak selalu sama.
Bahkan tidak dapat dihindari pula terjadinya persaingan geopolitik antar negara
ASEAN sendiri maupun antar kekuatan ekstra kawasan untuk memperkuat peran dan
pengaruhnya di kawasan ini. Secara singkat, berikut adalah uraian geopolitik
kawasan Asia Tenggara dari perspektif maritim.
Malaysia sebagai negara
bangsa memiliki tantangan yang tidak sedikit untuk mempertahankan eksistensinya
di kawasan. Secara geopolitik, tantangan yang dihadapi oleh Malaysia adalah
bagaimana menjaga keutuhan wilayah negeri itu yang dipisahkan oleh Laut Natuna.
Keutuhan antara wilayah Semenanjung dengan wilayah Sabah dan Serawak merupakan
isu krusial bagi Malaysia hari ini dan ke depan.
Meskipun Malaysia memiliki
hubungan baik dengan sejumlah negara tetangganya, akan tetapi di bawah
permukaan masih sulit untuk menghilangkan sama sekali rasa curiga terhadap
beberapa tetangganya tersebut. Tidak dapat dipungkiri belum kokohnya rasa
saling percaya negeri itu terhadap Indonesia dan Singapura yang dinilai
merintangi aspirasi geopolitik Malaysia untuk menjadi pemain kawasan.
Kecurigaan yang ada tidak lepas dari sengketa batas maritim Malaysia dengan
Indonesia dan Singapura pada beberapa segmen perairan yang sampai saat ini
belum mencapai kata sepakat pada ranah diplomasi.
Tantangan terhadap
geopolitik Malaysia muncul pula dengan kebangkitan Cina, khususnya klaim Cina
terhadap Laut Cina Selatan yang mencakup beberapa pulau di gugusan Kepulauan
Spratly yang diklaim dan diduduki oleh Malaysia. Dengan mengamati kecenderungan
terakhir dalam sengketa Laut Cina Selatan, tindakan-tindakan Cina untuk
menegaskan klaimnya akan dipandang sebagai ancaman terhadap aspirasi geopolitik
Malaysia.
Peta Kawasan Asia Tenggara
Singapura merupakan sebuah
negara kota yang eksistensinya sangat tergantung pada perannya sebagai hub bagi
kawasan Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Secara psikologis, Singapura sejak
masa berdirinya sebagai negara merdeka dan berdaulat merasa berada pada posisi
geopolitik yang tidak menguntungkan baginya karena berada di tengah dua negara
besar kawasan yang beretnis Melayu dan mayoritas menganut agama Islam. Oleh
karena itu, negara itu senantiasa merasa dalam posisi terancam sehingga
menempuh berbagai kebijakan untuk mempertahankan eksistensinya di kawasan.
Sebagai negara yang sangat
tergantung pada pergerakan arus barang dan jasa bagi kelangsungan ekonominya,
kepentingan geopolitik Singapura akan selalu terkait dengan keamanan SLOC (sea
lines of communication). SLOC yang vital bagi negeri itu meliputi Selat Malaka
dan Laut Cina Selatan sebagai jalur pendekat Singapura dari kawasan Samudera
India dan kawasan Asia Timur. Oleh karena itu, tantangan geopolitik Singapura
memiliki keterkaitan erat dengan domain maritim yang diwarnai oleh isu keamanan
maritim.
Thailand merupakan negara
yang cukup penting di kawasan Asia Tenggara. Ditinjau dari aspek geopolitik,
kepentingan geopolitik Thailand lebih banyak terkait dengan stabilitas di
daratan Asia Tenggara daripada pada domain maritim kawasan. Sejak dahulu fokus
Thailand adalah stabilitas negara-negara di sekitarnya, seperti Malaysia,
Kamboja, Myanmar dan Vietnam. Terjadinya instabilitas di negara-negara sekitar
Thailand akan memberikan efek negatif terhadap stabilitas Thailand itu sendiri
sebagaimana terlihat dalam perang saudara Kamboja pada 1979-1989 dan konflik
Kamboja-Thailand.
Meskipun Thailand tercatat
sebagai satu-satunya negara Asia Tenggara yang mempunyai kapal induk
helikopter, akan tetapi kehadiran kapal induk tersebut tidak berpengaruh besar
terhadap perluasan peran Thailand pada domain maritim di kawasan. Kepentingan
geopolitik Thailand yang terkait dengan domain maritim lebih banyak pada wilayah
perairan teritorialnya saja. Secara umum, Thailand belum tercatat sebagai
negara yang memiliki kepentingan geopolitik yang besar pada domain maritim.
Vietnam secara geopolitik
berbatasan dengan Cina yang merupakan musuh bebuyutannya. Cina pada masa dinasti
Han pernah menjajah Vietnam selama hampir seribu tahun sehingga memunculkan
dendam sejarah yang berkepanjangan. Dalam konteks kekinian, ancaman geopolitik
terhadap Vietnam dipandang berasal dari Cina. Hal ini bukan saja menyangkut
perbatasan darat, tetapi juga mencakup domain maritim.
Seperti diketahui, Vietnam
merupakan satu dari enam negara yang memiliki klaim di Laut Cina Selatan.
Negara ini mengklaim Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spratly sebagai
wilayahnya. Bagi Vietnam, kedua kepulauan merupakan bagian tidak terpisahkan
dari kepentingan geopolitiknya. Dalam sengketa itu, Vietnam kembali berhadapan
dengan Cina yang juga mempunyai klaim di sana. Perkembangan terakhir, interaksi
antara Vietnam dan Cina dalam sengketa Laut Cina Selatan menghangat seiring
aksi kapal nelayan Cina yang dinilai mengganggu aktivitas eksplorasi minyak
Vietnam di perairan tersebut, memperkuat alasan Vietnam membeli enam kapal
selam kelas Kilo dari Rusia.
Filipina yang merupakan satu
dari dua negara kepulauan di Asia Tenggara memiliki kepentingan geopolitik yang
terkait dengan domain maritim. Sebagaimana Vietnam, Filipina merupakan satu
dari enam negara yang mengklaim wilayah di Laut Cina Selatan khususnya
Kepulauan Spratly. Klaim Filipina atas Kepulauan Spratly mendapat tantangan di
lapangan dari Cina, sehingga memunculkan sikap keras dari pemerintah Filipina
pada jalur diplomatik.
Walaupun Filipina merupakan
negara pihak dalam sengketa Laut Cina Selatan, akan tetapi perhatian negara itu
terhadap kepentingan geopolitiknya di sana belum maksimal. Hal demikian
disebabkan oleh karena pemerintah Filipina masih harus berkutat pada isu
separatisme Moro di Mindanao yang telah berlangsung sejak 1970-an. Selain itu,
pemerintah Filipina menghadapi pula ancaman terorisme dari kelompok Abu Sayyaf
yang mempunyai hubungan dengan kelompok Jemaah Islamiyah dan Al Qaidah.
Amerika Serikat meskipun
bukan negara kawasan Asia Tenggara tetapi mempunyai pula kepentingan geopolitik
di kawasan ini. Kepentingan geopolitik Amerika Serikat adalah menciptakan
perdamaian stabilitas di kawasan ini sekaligus mengeliminasi sedini mungkin
adanya ancaman terhadap dominasinya. Sebagai pemain utama kawasan, Amerika
Serikat tidak akan membiarkan munculnya kekuatan lain yang akan menyaingi
hegemoninya dan kini kebangkitan Cina dipandang sebagai tantangan terhadapnya.
Kepentingan geopolitik
Amerika Serikat di kawasan tidak lepas pula dari domain maritim. Kebebasan
bernavigasi adalah bagian tidak terpisahkan dari kepentingan itu, karena dengan
adanya kebebasan bernavigasi akan menjamin pergerakan militer Amerika Serikat
khususnya Angkatan Laut. Secara umum, kawasan Asia Tenggara khususnya dan Asia
Pasifik pada umumnya berada dalam pengaruh geopolitik Amerika Serikat. Pengaruh
tersebut tentu saja akan terus dipertahankan selama mungkin, sebab pengaruh itu
memberikan ruang yang luas bagi Amerika Serikat untuk dominan di kawasan ini
dalam rangka mengimplementasikan kepentingan nasionalnya.
Cina sebagai kekuatan baru
di kawasan Asia Pasifik sangat berkepentingan untuk memproyeksikan
kepentingannya ke kawasan Asia Tenggara. Kepentingan geopolitik negara itu
adalah meluaskan pengaruhnya ke kawasan Asia Pasifik dan sekaligus
mengendalikan jalur-jalur pendekat laut ke wilayahnya. Oleh karena itu,
kepentingan geopolitik Cina memiliki keterkaitan yang erat dengan domain
maritim, karena jalur-jalur pendekat ke Cina adalah melalui laut. Di samping
itu, status sebagai negara industri yang mempunyai ketergantungan pada minyak
importir mengharuskan Cina untuk mampu mengendalikan SLOC-nya yang terbentang
dari Teluk Persia hingga Laut Cina Timur.
Kepentingan Cina yang
terkait dengan domain maritim itu pula yang membuat Cina bersikeras dalam
klaimnya terhadap seluruh wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Kepulauan Paracel
dan Kepulauan Spratly, sebagaimana terlihat dalam peta yang dikenal sebagai
U-Shaped. Bahkan Cina menetapkan Laut Cina Selatan sebagai satu dari empat core
national interest selain Tibet, Taiwan dan Xinjiang, di mana ditengarai pada
perairan itu terdapat minyak dan gas bumi dalam jumlah besar. Terkait dengan
hal tersebut, Cina memberikan reaksi keras, baik secara politik maupun
operasional, terhadap kehadiran kapal perang asing di Laut Cina Selatan
khususnya kapal perang dan kapal survei Amerika Serikat yang rutin berlayar di perairan
tersebut.
Klaim Cina Berbentuk Huruf U
Di Laut Cina Selatan
Jepang sebagai negara
industri mempunyai aspirasi geopolitik yang menjangkau wilayah di luar
yurisdiksinya. Aspirasi geopolitik tersebut mayoritas terkait dengan domain maritim,
di mana negara itu mesti mampu mengamankan SLOC-nya yang memanjang dari Teluk
Persia hingga Laut Jepang. Geopolitik Jepang sangat terkait dengan keamanan
energi, sebab pasokan energi Jepang mayoritas mengandalkan pada sumber-sumber
yang berada jauh dari wilayahnya.
Pengaruh geopolitik Jepang
cukup terasa di kawasan Asia Tenggara, meskipun bukan dalam bentuk kekuatan
militer. Karena sensitivitas terhadap penggunaan kekuatan militer, Jepang
secara rutin mengirimkan kapal patroli Japan Coast Guard untuk berpatroli di
perairan Asia Tenggara khususnya di Selat Malaka. Hal itu karena Selat Malaka
tercatat sebagai salah satu choke point strategis bagi Jepang, bahkan beberapa
kali kapal berbendera Jepang pernah dirompak dan dibajak di perairan itu
beberapa tahun silam.
Meskipun tidak terletak di
kawasan Asia Tenggara, India memiliki aspirasi geopolitik hingga kawasan ini.
Mengacu pada Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, India
membagi kawasan kepentingannya menjadi dua klasifikasi, yaitu primary areas dan
secondary areas. Primary areas meliputi Laut Arab dan Teluk Benggala, choke
points menuju dan dari Samudera India yakni Selat Malaka, Selat Hormuz, Selat
Bab-El-Mandeb dan Tanjung Harapan, negara-negara pulau di Samudera India, Teluk
Persia yang merupakan sumber utama suplai minyak India dan SLOC utama yang
melewati kawasan Samudera India. Adapun secondary areas mencakup kawasan bagian
selatan Samudera India, Laut Merah, Laut Cina Selatan dan kawasan Pasifik
Timur.
Pada dasarnya, aspirasi
geopolitik India berpusat pada Samudera India di mana negara itu berprinsip
bahwa sistem politik yang berlaku di perairan itu adalah sistem politik India.
Selat Malaka adalah salah satu jalur pendekat ke Samudera India, sehingga
kepentingan India terhadap perairan strategis itu juga ada. Seiring dengan
persaingan geopolitik India dengan Cina, kini India telah meluaskan pengaruh
geopolitiknnya ke Laut Cina Selatan yang dipandang sebagai halaman belakang
Cina. Perluasan pengaruh itu bekerjasama dengan Amerika Serikat yang juga
memberikan perhatian besar terhadap kebangkitan Cina.
Mengacu pada Defending
Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030, kepentingan paling strategis
Australia adalah mempertahankan negeri itu dari serangan bersenjata langsung.
Untuk mencapai kepentingan itu, Australia memiliki kepentingan mendasar untuk
mengendalikan jalur pendekat udara dan laut menuju wilayahnya. Terkait dengan
kepentingan strategis Australia, maka kebijakan pertahanan yang diambil
berpegang pada prinsip self-reliance yang apabila diperlukan akan berbagi beban
dengan negara-negara lain. Oleh karena itu, menjaga aliansi dan hubungan
pertahanan internasional untuk memperkuat keamanan Australia merupakan bagian
dari kebijakan pertahanan.
Persepsi ancaman Australia
sejak era Perang Dunia Kedua menyatakan bahwa ancaman berasal dari utara.
Berangkat dari persepsi itu, Australia senantiasa mengembangkan kekuatan
Angkatan Laut dan Angkatan Udara yang dirancang untuk mampu diproyeksikan guna
menghadapi ancaman ketika masih berada di luar wilayahnya. Pendekatan demikian
telah berlangsung lama dan akan terus demikian ke depan, siapa pun yang
memegang tampuk pemerintahan di Australia. Dengan kata lain, wilayah di utara
Australia merupakan bagian dari mandala pertahanannya di mana Australia akan
berupaya secara maksimal untuk mencegah agar ancaman itu tidak sampai masuk ke
wilayah teritorialnya.
4. Persepsi Ancaman
Kondisi lingkungan strategis kawasan saat ini penuh dengan ancaman dan tantangan keamanan yang bersumber dari aktor negara maupun non negara. Bentuk ancaman dan tantangannya pun beragam, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam rupa simetris dan asimetris. Ancaman dan tantangan simetris secara umum dapat berasal dari aktor negara, sedangkan asimetris bisa muncul dari aktor non negara. Namun perlu menjadi catatan pula bahwa ancaman asimetris tidak dapat dibatasi pada bentuk organisasi aktornya, tetapi juga bagaimana pula kekuatan, kesenjataan dan moral.
Kondisi lingkungan strategis kawasan saat ini penuh dengan ancaman dan tantangan keamanan yang bersumber dari aktor negara maupun non negara. Bentuk ancaman dan tantangannya pun beragam, yang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam rupa simetris dan asimetris. Ancaman dan tantangan simetris secara umum dapat berasal dari aktor negara, sedangkan asimetris bisa muncul dari aktor non negara. Namun perlu menjadi catatan pula bahwa ancaman asimetris tidak dapat dibatasi pada bentuk organisasi aktornya, tetapi juga bagaimana pula kekuatan, kesenjataan dan moral.
Ancaman dan tantangan
simetris muncul dari kasus seperti sengketa perbatasan antar negara yang belum
terselesaikan, perlombaan senjata Angkatan Laut (naval arms race) dan masalah
kebebasan penggunaan laut. Saat ini dapat dilihat dengan mudah adanya
persaingan antara Amerika Serikat versus Cina menyangkut pembangunan kekuatan
militer Cina, pembangunan kekuatan laut India untuk dapat mengendalikan
Samudera India sesuai dengan aspirasi politiknya, kerjasama latihan Angkatan
Laut Amerika Serikat-India-Jepang dan Australia bersandi Exercise Malabar yang
secara tidak langsung ditujukan untuk menghadapi kekuatan laut Cina dan lain
sebagainya.
Sedangkan ancaman dan
tantangan asimetris pada domain maritim, berupa perompakan, pembajakan,
terorisme maritim, proliferasi senjata pemusnah massal dan pencurian sumber
daya laut. Lahirlah inisiatif seperti Regional Maritime Security Initiative
(RMSI), Proliferation Security Initiative (PSI), International Ship and Port Facility
Code (ISPS Code), Global Maritime Partnership/Thousand-Ship Navy dan lain
sebagainya. Ancaman dan tantangan asimetris pada domain maritim kini telah
menjadi perhatian semua negara di kawasan, karena dipandang dapat mengancam
stabilitas kawasan.
Perlu dipahami pula bahwa
kini dunia sudah memasuki era peperangan generasi keempat yang karakteristiknya
sangat berbeda dengan tiga generasi peperangan sebelumnya. Munculnya peperangan
generasi keempat tidak lepas dari perubahan masyarakat di dunia, seperti dalam
bidang politik, ekonomi, sosial dan technical yang mempengaruhi sifat alamiah
(nature) dari perang. Istilah peperangan generasi keempat berasal dari para
ahli strategi dan perencana militer di Amerika Serikat pada akhir 1980-an untuk
mengkarakterisasi dinamika dan arah ke depan dari peperangan.
Konsep dasar peperangan
generasi keempat adalah sikap politik yang lebih kuat dapat mengalahkan
kekuatan ekonomi dan militer yang lebih besar. Dengan kata lain, peperangan
generasi keempat karakteristiknya bersifat politik, berkepanjangan (protracted)
dan terhubung dalam jaringan (networked). Sebagian pihak berpendapat bahwa
dalam peperangan generasi keempat, musuh yang dihadapi bukan saja aktor bukan
negara, tetapi dapat pula aktor negara yang menggunakan cara-cara non
tradisional untuk mengalahkan musuh yang lebih kuat. Cara-cara non tradisional
yang dimaksud antara lain adalah ekonomi, diplomatik, cyber, media dan lain
sebagainya.
Sementara itu, arsitektur
keamanan kawasan Asia Pasifik belum tertata sesuai dengan Bab VIII Piagam PBB
tentang Pengaturan Regional. Bab VIII Piagam PBB mengamanatkan pengaturan
keamanan suatu kawasan dilakukan secara mandiri oleh negara-negara di kawasan
tersebut melalui suatu organisasi regional. Dalam konteks yang lebih sempit lagi
yaitu kawasan Asia Tenggara, penataan keamanan kawasan ini lebih banyak
dilaksanakan oleh aktor ekstra kawasan seperti Amerika Serikat.
Sejak terbentuk pada 8
Agustus 1967, ASEAN baru sepakat menyentuh isu keamanan kawasan setelah KTT
ASEAN Ke-9 di Bali pada 7-8 Oktober 2003 yang menyepakati Bali Concord II.
Sesuai amanat tersebut, negara-negara ASEAN mendirikan Komunitas ASEAN yang
terdiri dari ASEAN Political Security Community (APSC), ASEAN Economic
Community (AEC) dan ASEAN Socio-Cultural Community (ASCC) pada 2015. APSC akan
menjadi wadah kerjasama negara-negara ASEAN dalam bidang politik keamanan, di
mana salah satu wadah forum di dalamnya adalah ASEAN Maritime Forum (AMF) yang
berdiri atas prakarsa Indonesia.
5. Pembangunan Kekuatan
Maritim Kawasan
Untuk mendukung aspirasi geopolitik masing-masing, negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya di antaranya membangun kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasionalnya. Dengan memperhatikan karakteristik kawasan, pembangunan kekuatan maritim dalam hal ini Angkatan Laut dalam dua dekade terakhir meningkat cukup pesat. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dilaksanakan bukan sekedar untuk merespon ancaman asimetris, tetapi mencakup pula ancaman simetris yang tidak dapat diabaikan di kawasan ini seiring makin meningkatnya persaingan antar negara untuk memperebutkan wilayah dan memperluas pengaruh pada domain maritim.
Untuk mendukung aspirasi geopolitik masing-masing, negara-negara di kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya di antaranya membangun kekuatan militer sebagai salah satu instrumen kekuatan nasionalnya. Dengan memperhatikan karakteristik kawasan, pembangunan kekuatan maritim dalam hal ini Angkatan Laut dalam dua dekade terakhir meningkat cukup pesat. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut yang dilaksanakan bukan sekedar untuk merespon ancaman asimetris, tetapi mencakup pula ancaman simetris yang tidak dapat diabaikan di kawasan ini seiring makin meningkatnya persaingan antar negara untuk memperebutkan wilayah dan memperluas pengaruh pada domain maritim.
Malaysia memperkuat kekuatan
Angkatan Lautnya melalui pengadaan sejumlah alutsista dari negara-negara lain,
baik kapal permukaan maupun kapal selam. Selain pengadaan kapal perang,
Malaysia juga membangun sejumlah pangkalan baru Tentara Laut Diraja Malaysia
(TLDM), seperti di Lumut dan Sabah. Untuk memperkuat pertahanan maritim di
sekitar Laut Sulu, Laut Sulawesi dan Laut Cina Selatan, Malaysia mengembangkan
pangkalan Angkatan Laut di Teluk Sepanggar, Sabah, yang menjadi pangkalan induk
kapal selam.
Pembangunan sejumlah
pangkalan TLDM di wilayah Sabah menandakan adanya perluasan strategi maritim
Malaysia, yang semula hanya berfokus terhadap keamanan Selat Malaka, kini
melebar ke Laut Natuna, Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Perluasan strategi maritim
hingga ke ketiga perairan dilatarbelakangi oleh isu politik keamanan dan
ekonomi. Dari isu politik keamanan, wilayah Serawak dan Sabah merupakan bagian
integral dari Malaysia, sehingga salah satu tugas pokok TLDM adalah menjamin
tetap terbukanya SLOC Malaysia, yang dalam konteks ini adalah Laut Natuna.
Perairan Laut Sulu dan Laut Sulawesi merupakan kawasan rawan aktivitas
terorisme yang berpusat di Pulau Mindanao, Filipina yang berimplikasi negatif
terhadap keamanan Malaysia di wilayah Sabah dan sekitarnya.
Sedangkan isu ekonomi tak
lepas dari banyaknya potensi kandungan minyak dan gas bumi di Laut Sulawesi.
Potensi hidrokarbon itulah yang menjadi salah satu faktor pendorong Malaysia
mengklaim perairan teritorial dan ZEE Indonesia di Laut Sulawesi pasca lepasnya
Pulau Sipadan dan Pulau Ligitan. Kasus yang dikenal sebagai konflik Blok
Ambalat tersebut semakin meyakinkan Malaysia untuk memperkuat kekuatan laut
(dan udaranya) di sekitar Laut Sulu dan Laut Sulawesi. Adapun di Laut Cina
Selatan, Malaysia bersikap teguh atas klaimnya, ditunjang pula oleh kebijakan
pembangunan kekuatan laut Malaysia, seperti pengadaan kapal perang yang mampu ocean
going dan pembelian lima kapal selam kelas Scorpene dari Prancis yang saat ini
telah tiba dua buah.
Singapura menganut strategi
pertahanan yang dikenal sebagai porcupine strategy sebagai pengembangan dari
poisonous shrimp strategy. Porcupine strategy beranggapan bahwa Singapura tidak
akan mampu menghancurkan secara total negara agresor, namun pihak tersebut
harus membayar dengan biaya tinggi akibat tindakan agresinya terhadap
Singapura. Pembangunan kekuatan pertahanan Singapura, termasuk pembangunan kekuatan
Angkatan Laut berangkat dari strategis tersebut.
Terkait strategi pertahanan
tersebut, Angkatan Laut Singapura dibangun untuk memiliki keunggulan kualitas
dibandingkan Angkatan Laut lainnya di kawasan Asia Tenggara. Meskipun wilayah
perairan mereka sangat kecil, tetapi jumlah kapal perang yang dimiliki jauh
melebihi kebutuhan untuk mempertahankan negara itu. Kekuatan kombatan Angkatan
Laut Singapura berpusat pada enam fregat kelas Formidable dua kapal selam kelas
Vastergotland dan empat kapal selam kelas Sjoormen. Kekuatan tersebut dirancang
untuk mampu mengamankan SLOC Singapura yang bukan saja di Selat Malaka, tetapi
mencakup pula Laut Cina Selatan, Teluk Persia dan Laut Merah.
Karena itu pula, Singapura
aktif dalam koalisi internasional untuk mengamankan perairan di Somalia dan
sekitarnya dari ancaman bajak laut. Angkatan Laut Singapura terlibat dalam
Combined Task Force-150 (CTF-150) dan CTF-151 di bawah NATO. Partisipasi aktif
tersebut merupakan implementasi dari kebijakan nasional Singapura yang memberikan
perhatian khusus pada keamanan SLOC-nya.
Thailand tidak mempunyai
kepentingan yang besar pada domain maritim di kawasan, sehingga pembangunan
kekuatan Angkatan Lautnya tidak terlalu menonjol. Eksistensi kapal induknya
tidak dieksplorasi secara optimal yang dapat dilihat dari tidak adanya
penyebaran kapal tersebut ke luar wilayah yurisdiksinya. Dalam perkembangan
terakhir, Thailand menunjukkan minatnya untuk membeli dua eks kapal selam U-206
eks Angkatan Laut Jerman. Meskipun demikian, Thailand setidaknya hingga satu
dekade ke depan tidak akan membangun kekuatan laut secara progresif
dibandingkan beberapa negara lain di kawasan.
Adapun Vietnam yang kini
semakin tersentak oleh klaim Cina atas Laut Cina Selatan tengah memperkuat
Angkatan Lautnya. Fokus pembangunan kekuatannya adalah lewat pengadaan enam
kapal selam kelas Kilo dari Rusia. Pengadaan kapal selam tersebut secara
terbuka diakui untuk mengamankan kepentingan nasionalnya di Laut Cina Selatan
di mana Vietnam adalah salah satu negara pengklaim. Langkah Vietnam untuk
memperkuat Angkatan Lautnya merupakan suatu terobosan baru karena selama ini
negara itu dikenal mengedepankan kekuatan daratnya.
Filipina merupakan negara
Asia Tenggara dengan kekuatan Angkatan Laut terlemah. Upaya modernisasi kekuatan
Angkatan Laut senantiasa mengalami hambatan karena keterbatasan anggaran.
Konflik internal di Mindanao membuat sebagian besar anggaran pertahanan
Filipina diarahkan pada upaya untuk mengatasi pemberontakan dan terorisme di
wilayah selatan negara itu. Dalam perkembangan terakhir, Angkatan Laut Filipina
membeli eks USCG Hammilton dari US Coast Guard yang akan menjadi capital
ship-nya menggantikan BRP Rajah Humabon yang merupakan kapal destroyer escort
eks Perang Dunia Kedua.
Amerika Serikat terus
mempertahankan kehadirannya di kawasan ini, terlebih lagi ketika Cina muncul
sebagai kekuatan baru. Kehadiran militer Amerika Serikat di kawasan khususnya
kekuatan Angkatan Laut berada dalam bingkai untuk mengamankan kepentingan
nasionalnya, khususnya kebebasan bernavigasi. Untuk mendukung kehadiran
tersebut, Amerika Serikat memiliki beberapa pangkalan di sekitar Laut Cina
Selatan seperti di Sasebo, Okinawa, Changi Singapura dan Guam. Sejak masa
pemerintahan Presiden George W. Bush, Amerika Serikat secara bertahap memindahkan
sebagian kekuatan militernya dari kawasan lain ke kawasan Asia Pasifik untuk
merespon dinamika lingkungan strategis yang berkembang.
Cina mengembangkan strategi
pertahanan Cina yang dikenal sebagai Offshore Defense, ada pula pembagian zona
pertahanan yang disebut sebagai “two island chains” yang terdiri dari the first
island chain dan second island chain. Offshore Defense merupakan konsep
strategis yang mengarahkan Angkatan Laut Cina untuk bersiap memenuhi tiga misi
kunci “untuk periode baru” melalui pelibatan dalam operasi-operasi maritim di
laut dan membangun Angkatan Laut yang mampu melaksanakan operasi berkelanjutan
di laut. Tiga misi kunci yang diemban oleh Angkatan Laut Cina yaitu (i) menjaga
musuh dalam batas dan menolak invasi dari laut, (ii) melindungi kedaulatan
teritorial nasional dan (iii) menjaga keutuhan ibu pertiwi dan hak-hak maritim.
Untuk melaksanakan strategi
tersebut, saat ini Cina sangat aktif membangun kekuatan Angkatan Lautnya menuju
status blue water navy. Selain memperkuat armada kapal atas air dan kapal
selam, Cina juga tengah menyelesaikan refurbished eks kapal induk Varyag eks
Rusia yang dibelinya satu dekade lalu. Kapal itu nantinya akan dinobatkan
menjadi kapal induk pertama Cina dengan nama Shi Lang dan nampaknya dalam waktu
tidak lama lagi kapal tersebut akan melaksanakan sea trial. Secara teoritis,
eksistensi kapal induk dalam jajaran armada Angkatan Laut Cina akan mengubah
konstelasi perimbangan kekuatan kawasan apabila Cina mampu mengoperasikan kapal
itu dan bukan sekedar memilikinya.
Kepentingan Jepang di
kawasan Asia Tenggara tidak lepas dari keamanan SLOC-nya yang akan berimbas
langsung apabila pecah konflik di perairan tersebut. 70 persen kapal tanker
Jepang membawa minyak menuju Jepang melalui Laut Cina Selatan, meskipun
sebenarnya kapal tersebut dapat menghindar melalui perairan Indonesia menuju
Samudera Pasifik. Jalur yang terakhir memakan waktu dan biaya yang besar
sehingga tidak ekonomis.
Dari sini tergambar bahwa
keamanan SLOC Jepang sangat berkaitan erat dengan keamanan energinya. Keamanan
energi kini menjadi isu strategis bagi banyak di dunia seiring ketergantungan
pada sumber energi di Timur Tengah yang rawan dan dinamika lingkungan strategis
yang ditandai dengan menonjolnya ancaman asimetris seperti terorisme,
pembajakan dan perompakan di laut. Gangguan terhadap keamanan energi merupakan
suatu ancaman langsung terhadap keamanan nasional Jepang.
Isu keamanan SLOC khususnya
mempengaruhi pula karakteristik Japan Maritime Self-Defense Force (JMSDF) sejak
awal berdiri pada 1952 hingga saat ini. Sejak kelahirannya JMSDF dirancang
sedemikian rupa untuk melindungi jalur perhubungan laut Jepang, sehingga
kemudian lahir doktrin operasi 1.000 mil laut. Yang menarik diperhatikan dalam
pembangunan JMSDF terkini adalah kehadiran kapal induk helikopter kelas Hyuga
dan ke depan masih akan mengembangkan kapal sejenis. Kehadiran kapal induk
helikopter akan mendukung penyebaran kekuatan JMSDF yang selama ini sudah
dilakukan di kawasan Asia Pasifik.
Angkatan Laut India menurut
Laksamana Mehta pada 2022 akan diperkuat oleh sekitar 160 lebih kapal perang,
termasuk tiga kapal induk, 60 kapal kombatan atas air dan kapal selam dan
hampir 400 pesawat udara berbagai tipe. Pembangunan kekuatan laut India,
sebagaimana dinyatakan dalam The Indian Navy’s Vision Document ditujukan untuk
mempromosikan lingkungan yang tenang dan damai di kawasan Samudera India untuk
mencapai tujuan-tujuan politik, ekonomi, diplomasi dan militer India.
Dalam The Indian Maritime
Doctrine, hal yang digarisbawahi adalah kebutuhan untuk mengendalikan choke
points, pulau-pulau penting dan jalur-jalur perdagangan vital. Terkait dengan
kebutuhan tersebut, Angkatan Laut India menekankan diplomasi Angkatan Laut
sebagai salah satu tugas utamanya di masa damai. Adapun wilayah penyebaran
kekuatan laut India dalam rangka diplomasi Angkatan Laut terbentang dari Teluk
Persia hingga Selat Malaka yang ditetapkan sebagai kawasan kepentingan India
yang sah.
Strategi militer Australia
adalah to deter and defeat attacks on Australia. Wujudnya berupa preemptive
strategy dengan menyerang musuh sejauh mungkin dari wilayahnya melalui operasi
gabungan di jalur-jalur pendekat menuju Australia. Terkait dengan hal tersebut,
strategi maritim menjadi fokus utama dalam pertahanan Australia yang
mengedepankan keterpaduan antar ketiga matra dalam Australian Defence Force.
Selain Royal Australian Air Force, Australian Army juga mendapat peran dalam
strategi maritim negeri itu. Peran Australian Army adalah mengendalikan
jalur-jalur pendekatan, mengamankan wilayah-wilayah di seberang lautan dan
beragam fasilitas, mengalahkan serangan mendadak ke wilayah Australia,
melindungi pangkalan-pangkalan yang menjadi basis operasi Royal Australian Navy
dan Royal Australian Air Force dan menolak (deny) akses lawan ke pangkalan aju.
Pembangunan kekuatan laut
difokuskan pada kemampuan peperangan bawah air, dengan tambahan kemampuan
peperangan udara dan peperangan amfibi. Untuk kemampuan peperangan bawah air,
hingga tahun 2030 Royal Australian Navy didesain mempunyai 12 kapal selam
pengganti kapal selam konvensional kelas Collins yang dilengkapi dengan rudal
permukaan, delapan fregat anti kapal selam untuk menggantikan fregat kelas
Anzac dengan dimensi yang lebih besar dan 24 heli anti kapal selam. Adapun
kemampuan peperangan udara masih terkait dengan program SEA 4000/Air Warfare
Destroyer (AWD) kelas Hobart yang akan dilengkapi dengan rudal anti pesawat
jarak jauh Standard Missile 6 (SM-6), selain Aegis Combat System. Sistem sensor
Cooperative Engagement Capability (CEC) akan terpasang pula di kapal itu,
sehingga nantinya interoperable dengan sensor serupa pada pesawat udara
AEW&C yang tengah dipesan oleh Royal Australian Air Force. Sedangkan untuk
kemampuan peperangan amfibi, programnya adalah pengadaan dua Landing Helicopter
Dock (LHD) bertonase 27.000 ton dari galangan Navantia, Spanyol, di samping
sejumlah kapal baru yang belum ditentukan jumlahnya, dengan tonase
10.000-15.000 ton, mempunyai landasan helikopter dan mampu menurunkan kendaraan
dan kargo lainnya tanpa membutuhkan dukungan infrastruktur pelabuhan.
6. Implikasi Terhadap
Indonesia
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pasti akan mempengaruhi pula Indonesia. Dalam konteks tersebut, terjadi pertemuan antara kepentingan geopolitik yang tengah berkembang di kawasan dengan kepentingan geopolitik Indonesia. Kepentingan geopolitik Indonesia yang utama adalah keutuhan dan kesatuan Indonesia dari semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan. Hal itu telah diamanatkan oleh Wawasan Nusantara yang menjadi pandangan geopolitik Indonesia.
Dinamika geopolitik kawasan Asia Tenggara dan sekitarnya pasti akan mempengaruhi pula Indonesia. Dalam konteks tersebut, terjadi pertemuan antara kepentingan geopolitik yang tengah berkembang di kawasan dengan kepentingan geopolitik Indonesia. Kepentingan geopolitik Indonesia yang utama adalah keutuhan dan kesatuan Indonesia dari semua aspek, baik politik, ekonomi, sosial budaya dan pertahanan. Hal itu telah diamanatkan oleh Wawasan Nusantara yang menjadi pandangan geopolitik Indonesia.
Pertemuan kepentingan
geopolitik bisa melahirkan kerjasama, dapat pula memunculkan konflik. Mengacu
pada pemikiran geopolitik, terhadap interaksi antara ruang dengan manusia.
Interaksi tersebut melahirkan kesadaran ruang (space consciousness) yang
langsung atau tidak langsung terkait dengan kepentingan keamanan dan
kesejahteraan bagi manusia. Dalam konteks negara modern, konsep kesadaran ruang
diwujudkan dengan adanya klaim kedaulatan, yang dibatasi oleh batas negara
(boundary) dengan seperangkat hukum dan aparat untuk menjamin keamanan dan
kedaulatan. Terkait dengan dinamika geopolitik kawasan, terdapat beberapa
implikasi yang perlu diantisipasi oleh Indonesia sejak dini.
Pertama, politik. Dinamika
geopolitik kawasan dari perspektif maritim akan berimplikasi negatif terhadap
Indonesia maupun stabilitas kawasan apabila tidak dikelola dengan baik. Dewasa
ini, isu-isu yang mengedepan di kawasan adalah keamanan maritim, keamanan
energi dan sengketa wilayah. Indonesia memiliki keterkaitan yang erat dengan
ketiga isu tersebut.
Tantangannya adalah bagaimana agar pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan tidak memperbesar kesenjangan perimbangan kekuatan, karena kesenjangan itu akan memicu pihak yang merasa diri lebih kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dipandang dapat mengancam stabilitas kawasan. Apabila Indonesia tidak memiliki daya tawar yang tinggi dari aspek kekuatan militer khususnya Angkatan Laut, muncul peluang akan terulangnya kembali tindakan-tindakan pelecehan dan tidak menghormati kedaulatan dan wibawa Indonesia pada domain maritim, khususnya pada perairan yang masih menjadi sengketa Indonesia dengan negara tetangga maupun pada perairan strategis seperti choke points dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
Tantangannya adalah bagaimana agar pembangunan kekuatan Angkatan Laut di kawasan tidak memperbesar kesenjangan perimbangan kekuatan, karena kesenjangan itu akan memicu pihak yang merasa diri lebih kuat untuk melakukan tindakan-tindakan yang dipandang dapat mengancam stabilitas kawasan. Apabila Indonesia tidak memiliki daya tawar yang tinggi dari aspek kekuatan militer khususnya Angkatan Laut, muncul peluang akan terulangnya kembali tindakan-tindakan pelecehan dan tidak menghormati kedaulatan dan wibawa Indonesia pada domain maritim, khususnya pada perairan yang masih menjadi sengketa Indonesia dengan negara tetangga maupun pada perairan strategis seperti choke points dan alur laut kepulauan Indonesia (ALKI).
Kedua, ekonomi. Implikasi
ekonomi dari dinamika gepolitik kawasan dari perspektif maritim terhadap
Indonesia dapat bersifat positif dan negatif sekaligus. Implikasi positif dari
dinamika tersebut adalah semakin terbuka peluang kerjasama antar Angkatan Laut
kawasan dalam merespon ancaman dan tantangan yang terkait dengan keamanan
maritim dan keamanan energi, khususnya ancaman asimetris seperti pembajakan,
perompakan dan terorisme maritim. Untuk merespon ancaman demikian, salah satu
kata kuncinya adalah kerjasama antar negara selain adanya sikap politik yang
sebangun.
Sedangkan implikasi
negatifnya adalah kemungkinan penggunaan kekuatan Angkatan Laut untuk mengamankan
sumberdaya laut di perairan sengketa, baik perikanan maupun minyak dan gas
bumi. Hal demikian dapat dilihat dalam sengketa Laut Cina Selatan dan Laut
Sulawesi, di mana kekuatan Angkatan Laut digunakan oleh negara-negara lain
untuk merebut sumberdaya alam yang diklaim oleh Indonesia sebagai wilayah
ZEE-nya. Implikasi negatif demikian sebaiknya sudah diantisipasi sejak dini
sehingga diharapkan tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia.
Ketiga, militer. Pembangunan
kekuatan Angkatan Laut di kawasan dalam rangka mengamankan kepentingan nasional
masing-masing pihak akan merugikan Indonesia apabila tidak direspon secara
proporsional oleh Indonesia. Pembangunan kekuatan TNI Angkatan Laut harus tetap
dijalankan sesuai dengan minimum essential force (MEF) agar jurang
ketidakseimbangan kekuatan antara Indonesia dan negara-negara lain di kawasan
tidak melebar. Sebab apabila melebar justru akan berkontribusi negatif terhadap
Indonesia, meskipun diyakini tidak akan ada invasi terhadap Indonesia hingga
dekade mendatang.
Pembangunan kekuatan TNI
Angkatan Laut bukan sekedar untuk menjaga dan mengamankan keutuhan wilayah
Indonesia, tetapi mencakup pula pengamanan kepentingan ekonomi Indonesia baik
di wilayah yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi. Dengan semakin
meningkatnya interaksi ekonomi Indonesia dengan negara-negara Asia Timur maupun
kawasan lain di dunia, TNI Angkatan Laut dituntut untuk mampu mengamankan SLOC
Indonesia. Kasus pembajakan MV Sinar Kudus pada 16 Maret 2011 oleh bajak laut
Somalia memberikan pelajaran berharga kepada Indonesia betapa SLOC yang harus
dilindungi bukan saja yang berada di wilayah perairan yurisdiksi saja, tetapi
juga di luar wilayah yurisdiksi.
7. Penutup
Geopolitik kawasan Asia Tenggara akan selalu dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi pada domain maritim, sebab dua pertiga kawasan ini berupa perairan. Perkembangan lingkungan strategis menunjukkan bahwa dinamika geopolitik kawasan diwarnai oleh isu-isu simetris dan asimetris sekaligus. Persaingan antar negara dalam perebutan wilayah maupun pengaruh pada domain maritim berjalan bersamaan dengan semakin terintegrasinya ekonomi kawasan melalui berbagai moda kerjasama. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut terus berlangsung di kawasan meskipun belum dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata.
Geopolitik kawasan Asia Tenggara akan selalu dipengaruhi oleh dinamika yang terjadi pada domain maritim, sebab dua pertiga kawasan ini berupa perairan. Perkembangan lingkungan strategis menunjukkan bahwa dinamika geopolitik kawasan diwarnai oleh isu-isu simetris dan asimetris sekaligus. Persaingan antar negara dalam perebutan wilayah maupun pengaruh pada domain maritim berjalan bersamaan dengan semakin terintegrasinya ekonomi kawasan melalui berbagai moda kerjasama. Pembangunan kekuatan Angkatan Laut terus berlangsung di kawasan meskipun belum dapat dikategorikan sebagai perlombaan senjata.
Dalam kondisi demikian,
Indonesia akan terkena implikasi seiring posisi strategis negeri ini dalam
percaturan politik, ekonomi dan keamanan kawasan. Implikasi yang tercipta bisa
positif, tetapi dapat pula negatif. Untuk merespon implikasi itu, Indonesia
mesti memiliki kekuatan TNI Angkatan Laut yang mampu mengamankan kepentingan
nasional yang terkait dengan domain maritim. Dengan memiliki kekuatan TNI
Angkatan Laut yang demikian, implikasi negatif dinamika geopolitik terhadap
stabilitas kawasan dapat diminimalkan sekaligus memperkuat posisi tawar
Indonesia dalam percaturan kawasan sekaligus dapat berkontribusi positif
terhadap ekonomi Indonesia melalui kemampuan TNI Angkatan Laut mengamankan SLOC
Indonesia di dalam wilayah yurisdiksi maupun di luar wilayah yurisdiksi serta
mengamankan sumberdaya laut di wilayah perairan yurisdiksi.
Footnote:
[1]. RM Sunardi, Geopolitik
dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, Jakarta: 2004, PT
Kuarternita Adidharma hal.33
[2]. Ibid, hal.34
[3], Ibid
{4}. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, Washington: National Defense University, 2000
[2]. Ibid, hal.34
[3], Ibid
{4}. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, Washington: National Defense University, 2000
Daftar Referensi:
1. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, PT Kuarternita Adidharma, Jakarta, 2004.
2. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, National Defense University, Washington, 2000.
3. White House, US National Security Strategy 2010.
4. Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030.
5. Indian Ministy of Defence, Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, 2008.
6. Departemen Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2007.
7. Prof Muladi dan Kazan Gunawan, Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkajian Strategi Nasional, Jakarta, 2007.
8. US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009.
9. Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty First Century, Second Ed, Routledge, New York, 2010
10. US Naval War College, US, China and Maritime Cooperation, Newport, 2010.
1. RM Sunardi, Geopolitik dan Geostrategi Indonesia: Pembinaan Ketahanan Nasional, PT Kuarternita Adidharma, Jakarta, 2004.
2. Sam J. Tangredi, Globalization and Maritime Power, National Defense University, Washington, 2000.
3. White House, US National Security Strategy 2010.
4. Commonwealth of Australia, Defending Australia In The Asia Pacific Century: Force 2030.
5. Indian Ministy of Defence, Freedom to use the Seas: India’s Maritime Military Strategy, 2008.
6. Departemen Pertahanan RI, Strategi Pertahanan Negara, 2007.
7. Prof Muladi dan Kazan Gunawan, Transformasi Geopolitik, Pusat Pengkajian Strategi Nasional, Jakarta, 2007.
8. US Department of Defense, Annual Report to Congress: Military Power of the People’s Republic of China 2009.
9. Geoffrey Till, Seapower: A Guide for the Twenty First Century, Second Ed, Routledge, New York, 2010
10. US Naval War College, US, China and Maritime Cooperation, Newport, 2010.
Post by pocong syereem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar