Jakarta, JMOL ** Untuk
menjadi negara maju yang kuat dan mandiri, pembangunan ekonomi harus sejalan
dengan pembangunan kekuatan pertahanan. Oleh karenanya, peningkatan anggaran
militer, termasuk alutsista, menjadi penting untuk mengawal proses pembangunan
ekonomi.
Panglima TNI, Jenderal
Moeldoko, mengatakan, saat ini Indonesia dalam keadaan sangat baik secara
ekonomi. TNI dengan sekuat tenaga akan mempertahankan kondisi tersebut.
“Indonesia sekarang dalam
posisi yang sangat baik dalam ekonomi. Saya dan prajurit akan mempertahankan
kondisi itu sebaik-baiknya,” ujar Panglima di sela-sela Peresmian Gedung Media
Center Puspen TNI di Mabes TNI Cilangkap, Jakarta, Kamis (29/5).
Berbicara peningkatan
kapasitas alutsista TNI tidak terlepas dari program Minimum Essential Force
(MEF) yang dicanangkan Kementerian Pertahanan RI. Program MEF dicanangkan
melalui tiga tahapan renstra, yaitu renstra I (2011-2014), renstra II
(2015-2019), renstra III (2020-2024).
Sesuai targetnya, pada 2024,
MEF terpenuhi, dan setelahnya, postur militer Indonesia berbicara tataran
ideal, bukan minimum lagi.
Di tengah keterbatasan
anggaran pemerintah, program MEF menjadi penting untuk dikawal. Pemerintahan
baru diharapkan mampu berkomitmen terus mengawal program MEF.
“Secara spesifik saya belum
pernah mendengar, tapi saya yakin para Capres itu pasti memiliki komitmen yang
kuat untuk membesarkan TNI,” tutur Moeldoko.
Panglima menceritakan, telah
ada sebuah kesepakatan di DPR. Komitmen melanjutkan program MEF akan terus
dikawal pemerintahan selanjutnya.
“Kemarin pada saat kita
rapat di Komisi I telah membuat sebuah formula yang harapannya MEF itu siapa
pun yang akan memimpin nanti akan mengawal terus,” ungkap Moeldoko.
Sebagai panglima TNI,
Moeldoko berharap bahwa program MEF tidak boleh berhenti di pemerintahan
selanjutnya.
“Saya mewakili prajurit TNI
berharap, siapa pun pemimpinnya ke depan, MEF tidak boleh berhenti,”
pungkasnya.
Seperti dikatakan oleh Wakil
Menteri Pertahanan, Sjafrie Sjamsudin, dalam sebuah Forum Temu Pemimpin Redaksi
Media beberapa waktu lalu, saat ini rasio anggaran pertahanan Indonesia baru
mencapai sekitar 0,8 persen dari GDP nasional Sementara idealnya, untuk negara
maju adalah 1-2 persen dari GDP. Untuk MEF, pencapaiannya dalam renstra I 2014
sudah mencapai angka 38 persen. Dalam pencapaian 38 persen tersebut, menurut
Sjafrie, telah menghabiskan anggaran sebesar US$ 15 miliar.
Minimum Essential Force
(MEF) menjadi program pemerintah dalam meningkatkan kapasitas alutsista TNI
untuk menjaga pertahanan dan keamanan NKRI. Meski demikian, penerapan MEF
dipandang sudah tidak relevan lagi dengan situasi keamanan kawasan yang selalu
berubah.
“Pengertian minimum atau
maksimum itu fluktuatif. Ancaman 2011 tidak sama dengan ancaman 2014, ancaman
2014 tidak sama dengan 2020, dan seterusnya. Jadi tidak bisa MEF dihitungnya
kapan, ditetapkannya kapan,” ujar Connie Rahakundini Bakrie, pengamat militer
Indonesia kepada JMOL beberapa waktu lalu.
Connie mengkritik kebijakan
MEF pemerintah yang menurutnya hanya ikut-ikutan pemerintah AS yang juga
menerapkan MEF dalam kebijakan pertahanannya.
“Penyakit kita suka copy
paste. Hari ini AS membuat MEF yang sebenarnya pengurangan jumlah tentara. Di
mana-mana tentara bisa dikurangi jumlahnya jika teknologinya sudah meningkat.
Di kita teknologi masih minim, tentara juga dikurangi, habislah kita,” tegas
Connie.
Connie menuturkan, program
MEF tertuang dalam Buku Putih Kementerian Pertahanan (Menhan). Hanya saja,
dalam perhitungannya MEF masih banyak ketidakjelasan. Menurutnya, sampai hari
ini cara perhitungan MEF masih tidak ada yang bisa menjawab.
“Semua bisa menghitung, tapi
dasar perhitungannya apa, tidak jelas. Buku Putih Pertahanan kita seperti turun
dari langit,” sebut Connie.
National Security Council
Seperti normalnya negara-negara lain, Connie memaparkan, terdapat lembaga yang
disebut sebagai National Security Council (NSC). Lembaga ini mengeluarkan apa
yang disebut sebagai National Security Strategic (NSS), dan akan diterapkan ke
seluruh departemen dan instansi terkait.
Sebelum NSS ditetapkan,
ketiga lembaga, antara lain Presiden, Menlu, dan Menhan terlebih dahulu
merumuskan national interest (kepentingan nasional). Persoalannya,
lanjut Connie, adalah yang disebut sebagai NSC di Indonesia sekarang tidak
jelas.
“Hari ini kita tidak jelas.
Ada yang bilang Wantanas (Dewan pertahanan nasional—red), ada yang bilang
Lemhannas, dan masing-masing saling gontok-gontokan,” ungkapnya.
Menurut Connie, hal tersebut
harus diselesaikan terlebih dahulu. Harus ada kejelasan secara kelembagaan.
Karena dari sini akan turun apa yang disebut sebagai National Defense
Strategic, dan setelahnya akan turun National Military Strategic.
“Sekarang yang ada tiba-tiba
Buku Putih keluar, entah dari mana perhitungannya. Dasarnya apa tidak jelas,”
cetus Connie.
Connie berharap,
problem-problem kelembagaan seperti ini harus dituntaskan terlebih dahulu
sehingga pembangunan postur pertahanan dan alutsista militer Indonesia terarah
dan jelas.
“Karena untuk menggiring
doktrin outward looking military kita yang dicanangkan sejak 1998,
tapi hanya sebatas teori di atas kertas, tidak mewujudkan kekuatan pertahanan
kita yang seharusnya. Kalau kita ingin konsekuen mereformasi TNI maka harus
mampu mewujudkan hal tersebut.Outward looking military kekuatannya ada di
laut dan udara,” pungkas Connie, yang juga salah satu anggota Wantanas.
Penulis: Anwar Iqbal
Editor: Arif Giyanto
(sumber : jurnalmaritim.com )
(sumber : jurnalmaritim.com )
Tidak ada komentar:
Posting Komentar