Label

Minggu, 29 Juni 2014

Posisi Indonesia dalam Konflik Laut Cina Selatan


RI di Konflik LCS

LCS:(DM) - BENARKAH Indonesia tidak ada sangkut paut apa pun dengan konflik Laut China Selatan (LCS)? Persoalan yang muncul dari jawaban Joko Widodo (Jokowi) pada debat capres (22/6), hingga detik ini masih menjadi perdebatan.

Secara spesifik, pro-kontra terbagi menjadi dua, apakah Indonesia tidak menjadi bagian dari konflik tersebut dan apakah harus berdiam diri melihat potensi konflik di wilayah ini. Persoalan ini perlu mendapat perhatian karena bisa menjadi indikator untuk mengukur sejauh mana calon pemimpin Indonesia berkomitmen menjaga kedaulatan NKRI dan memahami politik luar negeri.

Pembukaan UUD 1945 sudah secara tegas mengamanatkan: kepentingan nasional Indonesia adalah menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah NKRI, keselamatan dan kehormatan bangsa, serta ikut secara aktif dalam usaha perdamaian dunia. 

Memaham konflik LCS memang tidak terlepas dari ambisi China membangkitkan kejayaan imperium masa lalu mereka. Kekuatan raksasa baru dunia tersebut mematok apa yang disebut China 9 dash line yang meliputi 90% area LCS.

Dalam konflik ini, seperti disampaikan Menlu Marty Natalegawa, Indonesia tidak punya kepentingan langsung karena memang tidak pernah bergesekan secara fisik dengan China seperti ditunjukkan Filipina untuk memperebutkan Scarborough Shoal dan Spratly Islands atau Vietnam untuk dalam sengketa Spratly Islands dan Paracel Islands.

Kepulauan Indonesia pun tidak ada yang masuk dalam klaim tumpang tindih seperti dialami Malaysia dan Brunei Darussalam di Spratly Islands. Bahkan, Kemenlu China sudah menegaskan bahwa Beijing tidak memiliki perselisihan dengan Jakarta.

Namun, kita tidak bisa menutup fakta ada irisan di wilayah ZEE. Persoalannya, diperut bumi di bawah laut ini tersimpan cadangan gas dan minyak terbesar di dunia. Berdasarkan data, di wilayah ini salah satunya terdapat blok gas dan minyak, Blok Natuna D-Alpha, yang menyimpan 500 juta barel. Total potensi gas bahkan diperkirakan mencapai 222 triliun kaki kubik.

Cadangan ini tidak akan habis dieksplorasi 30 tahun ke depan. Apakah China tidak tertarik dengan kue yang demikian menggiurkan? Apakahklaim LCS sebatas romantisme historis, tidak bermuatan politis dan ekonomis.

Fakta yang ada, Negeri Tirai Bambu itu sudah memasang rig pengeboran di kawasan yang diperebutkan dengan Vietnam dan sempat memicu gesekan. Karena itulah, seusai berkunjung ke Beijing, Agustus tahun lalu, Panglima TNI Jenderal TNI Moeldokosecara lantang mengatakan, ”Kami adalah negara yang berdaulat, kami akan melindungi wilayah kami dan melakukan apa pun yang diperlukan untuk melindungi kedaulatan kami.

”Secara konkret, TNI sudah membangun shelter Sukhoi di Lanud Ranai, Natuna dan sudah mengubah doktrinnya dari defensif-aktif menjadi defensif-ofensif. Sejauh ini, memang belum terlihat kasatmata akan pecah perang. Tapi lihatlah laporan IHS Jane, Asia-Pasifik adalah satu-satunya wilayah duniayang pengeluaran militernya terus tumbuhsejak2008.

Tentu saja salah satu hotspot-nya adalah kawasan LCS. Menteri Pertahanan AS Leon Panetta bahkan sudah secara gamblang mengisyaratkan negaranya akan menggeser 60% kekuatan militernya ke Asia-Pasifik mulai 2012 hingga 2020.

Kini pangkalan AS sudah tersebar di Pulau Diego Garcia, Christmas, Cocos, Darwin, Guam, Filipina, dan sangat mungkin terus berputar hingga Malaysia, Singapura, Vietnam, hingga Kepulauan Andaman dan Nicobar. Bukankah posisi kita berada di tengahnya?

Adapun China sudah mendapat lampu hijau membangun pangkalan aju di Timor Leste untuk armada lautnya dan sudah menjajaki medan Samudra Hindia di selatan Jawa. Dengan anggaran militer sangat besar dan terus meningkat rata-rata di atas 11%—pada 2014 ini mencapai sekitar USD131.5 miliar— tidak heran negeri tersebut kini mengebut membuat satu destroyer per tiga bulan hingga terwujud 12 unit DDG kelas 052D dan menambah dua kapal induk lagi dalam enam tahun ke depan.

Langkah ini dilakukan sebagai persiapan operasi tempur jarak jauh dan penguatan logistik. Diperkirakan pada 2020, China menjadi raksasa sesungguhnya. Di sinilah Indonesia harus memainkan perannya mewujudkan politik luar negeri bebas aktif untuk menciptakan perdamaian dunia.

Sebagai negara nonblok, sesepuh ASEAN, dan bemper di selatan LCS, Indonesia adalah satu-satunya negara yang bisa mencegah pecahnya perang yang konon bisa menjadi Perang Dunia III. Dengan demikian, presiden ke depan harus bisa juga menjadi pemimpin di level global. (SindoNews)





Merespons Sengketa Kawasan, Pertahanan NKRI Perlu ‘Short Sharp War’

Jakarta, JMOL ** Konsep perang yang disebut short sharp war yang menitikberatkan pada Control, Command, Communication, dan Intelligent (C3I), mutlak diperlukan dalam membangun kekuatan pertahanan negara. Mantan Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) tahun 2000, Laksamana (Purn) Achmad Sutjipto menegaskan hal tersebut saat ditemui JMOL beberapa waktu lalu.

“Skenario perang yang disebut dengan short sharp war, merupakan perang cepat untuk memukul musuh pertama kali dan harus menang. Perang pertama sangat menentukan, karena sehabis perang pertama pasti ada kekuatan ketiga yang melerai dan kita tidak malu. Jika kita menang maka akan berpengaruh pada perang-perang berikutnya,” ujar Achmad.

Lebih jauh, Achmad mengutarakan bahwa konsep short sharp war yang ditopang C3I akan terjadi di wilayah Indonesia, menghadapi memanasnya situasi kawasan. Sebagai contoh, adanya sengketa Laut Tiongkok Selatan yang sudah sangat nyata ada.

Maka dari itu, sudah sepantasnya Indonesia berbenah terhadap alutsista dan pemutakhiran sistem C3I untuk menghadapi short sharp war dalam waktu dekat.

“Modernisasi dalam hal Command, Control, Communication, Inteligent atau biasa disebut C3I sangat dibutuhkan yang up to date dan real time, dan itu akan mengkover seluruh ruang tempur atau battle space dalam upaya mempertahankan NKRI,” ucapnya.

Kritikan terhadap MEF

Bicara alutsista terkait juga dengan sarana pendukungnya dalam konteks C3I. Jadi, tidak dapat terlepas dengan Minimum Essensial Force (MEF) yang telah ditetapkan hingga 2024 selama tiga tahap.

“Apakah konsep MEF dirancang untuk short sharp war? Tidak. MEF hanya dirancang berdasar feeling the gap atau adanya kesenjangan kita dengan negara tetangga seperti kesenjangan ekonomi, kesenjangan teknologi, dan kesenjangan posisi,” tegasnya.

Pasalnya, dalam perjalanan MEF tahap I kurun waktu 2010-2014, Indonesia masih mengalami kebocoran potensi laut sebesar Rp 40 triliun per tahunnya. Sudah selayaknya pemimpin ke depan meninjau ulang MEF, apakah masih layak atau tidak.

“Saya yakin, kedua capres kita akan meninjau ulang lagi, karena yang namanya kebijakan itu harus dinamis dan fleksibel. Tidak boleh harga mati,” tuturnya.


Ia menambahkan, berubahnya kebijakan dapat terkait kondisi tertentu, misalnya keterkaitan keamanan kawasan di ASEAN dan meningkatnya perekonomian. Kedua hal itu dapat mengubah suatu kebijakan.

(Jurnal Maritim)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar